Jumat, 07 Desember 2018

KOTA YOGYAKARTA


KOTA YOGYAKARTA
Oleh: Nia Susanti

Pusat kota seringkali menjadi bidang kajian sejarah kota. Pada dasarnya kajian sejarah kota tidak membicarakan sejarah daripada kota itu sendiri, melainkan membicarakan tentang gejala-gejala sosial yang terjadi pada kota tersebut yang meliputi permasalahan urbanisasi, sistem sosial, transformasi sosial-ekonomi, perubahan ekologis dan lain sebagainya. Pada paper ini akan membahas mengenai kajian sejarah kota Yogyakarta, yang terfokus pada transformasi sosial ekonomi dan perubahan ekologis.
Kota Yogyakarta merupakan tipologi kota tradisional dan khas kota Jawa yang masih tersisa hingga saat ini.  Konsep kota tradisional merupakan konsep lokal tentang perkembangan kota di Indonesia. Konsep kota tradisional dalam konteks sejarah kota di Barat dalam beberapa hal dapat disejajarkan dengan konsep kota preindustrial, yaitu kota yang belum bersentuhan dengan industrialisasi, konsep kota tradisional bukanlah konsep waktu yang mendahului konsep kota modern. Menurut konsep lokal, yang dimaksud dengan kota Tradisional adalah kota yang merupakan pusat kekuasaan tradisional, sehingga pengelolaan kota masih berada dibawah penguasaan bumi putra dan campur tangan orang asing terhadap pengembangan kota masih minim.

KERATON
Penanda kota Yogyakarta adalah Keraton yaitu tempat tinggal raja, sang penguasa. Keraton Yogyakarta dibangun oleh Hamengku Buwono pada tahun 1756. Pada masa dahulu Keraton juga merupakan kompleks bangunan tempat bekerja para pendeta, pegawai administrasi dan para seniman. Kawasan yang kemudian dibangun menjadi Keraton sudah dikenal oleh kerabat mataram sebelum Keraton Yogyakarta berdiri. Kawasan tersebut dalam babad Giyanti bernama Gerijiwati, dan kemudian diganti menjadi Ayogya yang terletak di Hutan Bringan. Setelah perjanjian Giyanti tahun 1755 ditandatangani, Hutan Bringan mulai dibuka yaitu disebuah pedukuhan disebut Pacethokan. Tempat tersebut dibuka untuk pembangunan Istana raja dan rumah-rumah para bupati.
Pada waktu hutan dibuka, Sultan Hamengku Buwono I (Mangkubumi) bertempat tinggal di Ambarketawang, Gamping, terletak lebih 5 Km sebelah barat kota Yogyakarta sekarang, setelah Keraton selesai, Hamengku Buwono I pindah ke kota, yang kemudian bernama Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah Keraton berdiri maka tempat tersebut menjadi orientasi utama kawasan Yogyakarta. Jalan-jalan pun pada awalnya bermuara ke Keraton.
Keraton dianggap sebagai wilayah yang sakral, yang teratur dan harus diatur. Bangunan-bangunan yang ada di Keraton misalnya,  menggambarkan sesuatu yang bisa di ingat oleh manusia. Pada bangunan keraton terdapat dua bentuk bunga Lotus dan Teratai yang melambangkan Lotus itu Hindu dan Teratai itu Islam. Dari hal ini menggambarkan bahwa bangunan Keraton itu bernuansa Islam dan juga Hindu. Di Keraton juga terdapat  64 pohon beringin dan juga 63 pilar yang mengelilingi Keraton yang melambangkan usia Nabi Muhammad ketika wafat yaitu usia 63 tahun. Di dalam Keraton juga terdapat 6 pohon Gayam yang melambangkan Rukun Iman itu ada 6. Konon katanya pohon Gayam ini digunakan untuk menghilangkan bau badan, di dalam Keraton  terdapat banyak jenis bangsal antara lain sebagai berikut:
1.      Bangsal Pagelaran yang digunakan ketika ada sekaten dan 2 Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri
2.      Bangsal Pamendangan
3.      Bangsal Pangrawit
4.      Bangsal Pangapit tempat istirahanya prajurit
5.      Bangsal Tarup Agung
6.      Bangsal Siti Inggil
7.      Bangsal Qori
8.      Bangsal Balai angun-angun sebagai penyimpanan gamelan peninggalan Sunan Kalijogo
Seiring berjalannya waktu, Keraton ini digunakan sebagai tempat wisata atau penelitian sejarah. Tetapi aturan dan adat yang ada di Keraton tetap ada dan harus ditaati oleh semua pengunjung Keraton. Sehingga di dalam Keraton juga ada sebuah tempat yang di dalamnya terdapat berbagai patung mengenakan busana adat Keraton. Selain itu juga ada pernak-pernik Keraton. Ada juga Ayam yang terletak didalam sangkar itu menggambarkan Nabi Adam dan istrinya Ibu Hawa.
Sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja, Keraton dianggap sebagai miniatur makrokosmos (jagat raya), sehingga kraton juga dianggap sebagai mikrokosmos (jagat kecil). Adapun Manifestasi Kraton sebagai Mikrokosmos (Jagat kecil) yaitu sebagai berikut:
1.      Tempat tinggal raja yang biasa disebut “dalem agung” diibaratkan sebagai puncak Mahameru (gunung Semeru di Jawa)
2.      Kekuasaan dan wibawa raja dirasakan sangat besar di area “dalem agung”
3.      Lingkaran yang menjadi pelingkup Keraton disebut “kuthanegara”. Kawasan ini ditandai adanya benteng Keraton yang mengelilinginya
4.      “Negaragung” atau “negara agung” (negara besar) adalah kawasan lingkaran luar setelah “kuthanegara”
5.      Kawasan “negaragung” secara spasial adalah kawasan di luar benteng Keraton tetapi masih berada di dalam lingkaran ibukota negara (ibukota kerajaan)

PLENGKUNG
Keraton dikelilingi oleh benteng, dan di beberapa tempat terdapat lorong yang disebut Plengkung, karena bentuknya melengkung. Plengkung berfungsi sebagai jalan raya. Pada awalnya jumlah plengkung ada lima, yaitu:
1.      Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan berada di sisi utara sebelah timur, sekaligus menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau Kadipaten. Plengkung ini bentuknya masih utuh.
2.      Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing yang terdapat di sisi selatan masih berdiri utuh. Fungsi khusus gerbang ini adalah sebagai jalan untuk menghantar sultan yang wafat menuju makam para raja di Imogiri Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala raksasa yang disebut Kala atau Kemamang sebagai simbol pelepasan mangkatnya sang raja.
3.      Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem berada di sisi utara sebelah barat. Plengkung ini pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII telah mengalami perubahan bentuk menjadi gerbang bentar.
4.      Di sebelah barat dahulu berdiri Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari.  Saat ini, Plengkung Jagabaya ini juga sudah berubah bentuk menjadi gapura.
5.      Di sisi sebelah timur, dahulu berdiri Plengkung Madyasura yang disebut pula Plengkung Tambakbaya atau Plengkung Gondomanan, yang sudah rata dengan tanah.  Ada pula yang menyebutnya dengan nama Plengkung Buntet, karena pernah ditutup menjelang serangan balatentara Inggris pada tahun 1812. Saat ini sudah tidak ada lagi

TAMANSARI
Tamansari adalah sebuah petilasan untuk peristirahatan raja-raja Yogyakarta yang dibangun oleh Hamengku Buwono I pada tahun 1758-1765 Terletak di sebelah barat daya Keraton Yogyakarta. Pada awalnya memiliki luas sekitar 10 hektar yang terdiri dari bangunan kolam renang, sungai-sungai di bawah bangunan, serta bangunan-bangunan pesanggrahan yang terletak di atas sungai-sungai buatan. Pernah tidak terawat sehingga akhirnya rusak berat. Setelah itu kawasan Tamansari diakuisisi oleh para pemukim sehingga kondisinya cempur aduk dengan pemukiman dan bangunan rusak Saat ini beberapa bagian sudah direnovasi, namun sebagian besar tetap merana diantara pemukiman warga.

PANGGUNG KRAPYAK
Panggung Krapyak Adalah tempat raja Yogyakarta berburu. Terletak di selatan keraton Yogyakarta. Dibangun oleh Hamengkubuwono I.

ALUN-ALUN
Alun-alun Merupakan hamparan tanah yang diratakan yang biasanya berbentuk bujur sangkar. Di tepi-tepinya ditanami pohon beringin dan di dua titik di tengah-tengah juga ditanami pohon beringin, yang biasanya disebut beringin kurung (karena diberi pagar keliling). Dua buah pohon beringin di tengah-tengah merupakan pohon yang diistimewakan. Celah diantara dua pohon beringin tersebut merupakan “pintu” menuju ke gerbang Keraton. Terdapat dua alun-alun:
1.      Alun-alun Utara (halaman utara Keraton)
2.      Alun-alun Selatan (halaman belakang Keraton)

MASJID AGUNG
Masjid Agung Terletak di sisi barat Alun-alun Utara. Masjid ini merupakan tempat ibadah umat Islam dan menjadi penanda kota tradisional. Masjid mutlak ada di kota tradisional Jawa. Masjid ini disebut juga Masjid Gedhe Kauman.

PASAR BERINGHARJO
Marupakan pasar tradisional yang dibangun pada masa awal untuk melengkapi Keraton. Terletak di utara keraton, tepatnya di Jalan Malioboro.

KESIMPULAN
Dari paparan diatas, seperti yang saya sebutkan sebelumnya bahwa sejarah kota Yogyakarta ini terfokus pada transformasi sosial ekonomi dan perubahan ekologis. Hal ini dapat terlihat adanya perubahan tempat atau lokasi yang ada di kota Yogyakarta. Misalnya Keraton yang berubah menjadi tempat pemukiman dan juga sebagai tempat wisata atau penelitian sejarah. Tamansari yang dulunya sebagai tempat peristirahatan Raja kini menjadi pemukiman penduduk. Plengkung yang fungsinya sebagai benteng Keraton kini menjadi sebuah Gapura dan bahkan ada yang hilang karena rusak tidak terawat.

PUISI "MELUKIS ASA"

MELUKIS ASA TUK NIA
Dapatkah aku melukis asa?
Mengguratkan sejuta warna
Yang bisa membuatmu indah
Diiringi terik sang surya perkasa
25 tahun sudah batang usia mu merajut Sukma
Dapatkah aku melukis asa?
Seperti notasi mimpi-mimpi terbang tinggi
Bagai kupu-kupu bersayap biru
Terbang bersama menuju negeri pelangi
Kini Nia kU menuju dewasa
Mengukir jiwa sejuta asa
Bercengkrama Suka Cita bersama Keluarga
Terpatri tuk berhikmah demi madrasah
Berfotosintesis untuk anak bangsa
Berdasa dharma disetiap langkah
Dapatkah aku melukis asa?
Terbentang sejuta harapan
Dibalut sebuah titisan Pandu dalam bejana indah
Sentuhan selaksa ayat ayat cinta yang indah
Mengoyak setiap desah nafas
Tempus dalam butiran butiran sejuta asa
Mengalir deras dalam hasrat cinta
Tali temali jadikan perekat
Sejuta tongkat jadikan pijakan yang erat
Sandi dan Morse jadi kode kehidupan penuh hikmah
Kompas jadikan arah menentukan kiblat
Di setiap masa sejuta langkah
Tuk Menjadi wanita Hebat
Dapatkah aku melukis asa?
Melalui pikiran pikiran geniusmu
Lewat urat nadi tuk mengalirkan semangat darahmu
Melalui enzim enzim yang menata jiwa
Lewat sejuta pasokan gizi yg kunanti
Beredar dalam darah merangkul EMIS dalam pesona cinta
Dapatkah aku melukis asa?
Hanya satu kata
Hanya satu bahasa
Kutitipkan asa dalam pelukan kasihmu
Pembuktian jati diri bukan diangan angan
Segudang harapan bukan sekedar ucapan
Hasrat cinta jangan berserakan di tepi jalan
Harus terpatri di setiap langkah penuh harapan
Segudang asa kutitipkan
Sejuta prestasi ku gantungkan
Selaksa makna ku sandarkan
Padamu jua ku pasrahkan
 Disetiap lorong waktu
Jiwamu mengembara
Mencari Hasrat cinta
Aku ingin hasrat cintamu menggelora
Aku ingin wawasan rindumu seluas samudra
Aku ingin perjuangan hatimu gagah laksana batu karang penuh asa
Belaian kasihmu sehalus sutra
Itu yang aku minta darimu
Di setiap lukisan asa
Catatan_Birthday
Jumat, 30 Nopember 2018