Kamis, 22 Maret 2018

PENGERTIAN KELEMBAGAAN ISLAM


A.    PENDAHULUAN
Jika seseorang hendak mempelajari dan memahami masyarakat tertentu, maka ia harus memperhatikan dan memahami dengan seksama lembaga yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan tersebut. Oleh sebab itu, terlebih dahulu harus mengetahui segala aspek dalam lembaga itu sendiri. Seperti terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian dan makna dari kata Lembaga, ciri-ciri yang ada dalam lembaga, fungsi serta macam-macam dari lembaga itu sendiri. Agar dapat memahami tingkah laku serta adat istiadat dalam suatu negara. Sehingga dengan demikian dapat mencapai tujuan dari keberhasilan pola lingkungan sosial. Karena manusia itu fitrahnya adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan.
Islam merupakan komponen terpenting untuk membentuk dan mewarnai corak hidup masyarakat. Lembaga Islam sangat penting bagi umat Islam karena dapat mempelajari norma atau aturan-aturan dan yang lainnya. Adanya lembaga Islam juga memberikan kemudahan bagi umat Islam dalam menjalani kehidupannya. Mereka akan berinteraksi dengan yang lain melalui lembaga Islam, karena lembaga Islam merupakan wadah bagi umat Islam dalam menjalani kehidupannya. untuk lebih jelasnya dalam makalah ini akan dibahas tentang kelembagaan Islam.
 
B.     PENGERTIAN KELEMBAGAAN ISLAM
1.      Pengertian Lembaga Islam
Sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai pengertian lembaga Islam, perlu diketahui bahwa ada beberapa istilah yang berhubungan dengan lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan. Kata lembaga mengandung arti sama dengan istilah dalam bahasa inggris yaitu Institution. Dalam Sosiologi kata Institution sering dirangkai dengan kata social institution yang oleh Soerjono Soekanto diterjemahkan dengan istilah “lembaga kemasyarakatan”. Istilah lain yang diusulkan adalah “bangunan sosial” terjemahan dari bahasa jerman soziale gebilde.[1] Lembaga sosial didalam setiap masyarakat senantiasa saling pengaruh mempengaruhi dan mempunyai hubungan yang bersifat fungsional.[2] Suatu lembaga pendidikan misalnya, senantiasa berkaitan dengan lembaga ekonomi, hokum, agama dan seterusnya. Apabila terjadi hubungan yang dwifungsional maka dapat diduga bahwa masyarakat akan mengalami kegoncangan.
Dalam bahasa sehari-hari istilah institution sering dikacaukan dengan istilah institute.[3] Koentjaraningrat menggunakan istilah “Pranata” sebagai terjemahan dari Institution, sedangkan istilah “Lembaga” adalah terjemahan dari Institute. Menurutnya, kedua kata ini dibedakan karena memiliki arti tidak sama. “Pranata” adalah sistem norma atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus, sedangkan lembaga atau Institute adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas itu Dari batasan ini, Koenjaraningrat menekankan bahwa “Pranata” adalah sistem norma, tata kelakuan, tingkah laku atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus, sedangkan lembaga adalah wujud konkrit dari aktivitas, yang  juga disebut association atau perkumpulan (badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas itu).
Sebenarnya pengertian yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat tidak berbeda dengan pendapatnya Soekanto yang menggunakan istilah “Lembaga” untuk Institution. Ia mendefinisikan “Lembaga” sebagai himpunan dari norma yang berlaku dalam masyarakat dari segala tingkatan sosial yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Institute yang merupakan wujud konkrit dari lembaga, ia sebut assosiasi. Menurut Robert Bierstedt, “Lembaga” atau “institution” dapat dibedakan dengan assosiasi.[4]  Assosiasi adalah kelompok yang terorganisasi dan memiliki identitas atau nama. Sedangkan Lembaga adalah prosedur yang diorgamisasikan yang terdiri dari konsep-konsep seperti kebiasaan, ide, dan norma. Lembaga membutuhkan Assosiasi. Lembaga tidak mungkin ada tanpa assosiasi dan assosiasi bertindak menurut cara-cara yang telah terlembaga. Misalnya, perguruan tinggi, pesantren, sekolah-sekolah, merupakan lembaga pendidikan Islam, sedangkan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, SMAN 1 Dawarblandong, MTsN 1 Dawarblandong, SDN 2 Brayublandong merupakan assosiasi atau perkumpulan.
Jadi dari data di atas dapat disimpulkan bahwa Lembaga memiliki 3 pengertian yaitu Pranata (Norma atau Aturan-aturan), Institusi (Tempat atau wadah) dan Assosiasi (Perkumpulan atau Organisasi). Sehingga Lembaga merupakan Subuah wadah atau tempat yang berisi perkumpulan orang-orang dengan memiliki aturan-aturan atau norma-norma untuk mencapai tujuan yang sama. Kemudian untuk pembahasan yang lebih khusus lagi tentang lembaga Islam, bahwa pengertian Lembaga Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam, yang sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam yang sangat beragam mengikuti perkembangan zaman. Kebutuhan tersebut diantaranya adalah kebutuhan keluarga, kebutuhan pendidikan, kebutuhan hukum, kebutuhan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.[5]

2.      Fungsi Lembaga Islam
Secara umum, lembaga Islam memiliki beberapa fungsi pokok, diantaranya adalah:[6]
a.       Memberikan pedoman pada anggota masyarakat muslim tentang bagaimana mereka harus bersikap dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul dan berkembang di masyarakat, terutama kebutuhan yang menyangkut kebutuhan pokok.
b.      Memberikan pegangan kepada masyarakat bersangkutan dalam melakukan pengendalian sosial menurut sistem tertentu yaitu sistem pengawasan tingkah laku para anggotanya.
c.       Menjaga keutuhan masyarakat.
Dari beberapa fungsi yang melekat pada lembaga sosial tersebut di atas, jelas bahwa apabila seseorang hendak mempelajari dan memahami masyarakat tertentu, maka ia harus memperhatikan dengan seksama lembaga yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Sehingga mereka akan lebih mudah dalam menjalani kehidupannya dan tidak mengalami kesulitan.
Negara Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yang kurang lebih 88,09% mengaku beragama Islam. Oleh karena itu, untuk memahami tingkah laku masyarakat yang ada di Indonesia, seyogyanya harus dipelajari dan di perhatikan dengan seksama mengenai lembaga-lembaga Islam yang mempengaruhi bahkan menentukan pola tingkah laku dan sikap hidup umat Islam.Dan perlu di garis bawahi bahwa tanpa adanya pembelajaran yang baik mengenai lembaga-lembaga Islam, orang tidak mungkin dapat memberikan penilaian yang benar tentang umat Islam.
Perlu kita ketahui bahwa kesalahan para ahli ilmu sosial dari Barat yang meneliti kemudian menulis tentang umat Islam terletak pada kenyataan bahwa mereka pada umumnya tidak memahami lembaga Islam yang bersumber dari ajaran Islam. Selain itu, metode yang mereka pergunakan tidak selaras dengan ajaran Islam, karena tradisi dan filsafat yang mereka kembangkan dipengaruhi oleh dua aliran pikiran, yaitu aliran Liberalis, Kapitalis dan aliran Marxis.
Aliran kapitalis liberalis adalah aliran yang mengutamakan benda dan hanya bersifat duniawi saja. Akal pikiran serta perasaan manusia yang dikembangkan secara bebas dan otonom oleh aliran ini diputuskan hubungannya dengan sumber samawi yaitu sumber yang berasal dari Tuhan.
Aliran yang berpaham sekuler ini melepaskan diri dari agama.Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan Islam yang lembaganya bersumber dari ajaran agama Islam. Aliran yang kedua yaitu aliran Marxis adalah aliran yang tumbuh dan kemudian menolak aliran pertama yang liberalis, kapitalis dan sekuler serta menolak segala sesuatu yang bersangkut paut dengan Tuhan, agama, dan akhirat.
Dari kenyataan diatas, maka diperlukan metodologi yang selaras dengan ajaran Islam, yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan sejalan dengan sumber ajaran Islam. Perkembangan selanjutnya, melihat hal-hal tersebut maka banyak metodologi yang dikembangkan oleh para sarjana muslim sendiri. Karena fungsinya yang sangat penting dalam masyarakat, dahulu lembaga Islam di perkenalkan melalui kurikulum perguruan tinggi. Sebagai contoh yaitu pada Sekolah Tinggi Hukum yang didirikan pada tahun 1925 di Batavia memasukkan lembaga Islam kedalam kurikulumnya dengan nama Mohammedansche Recht Instellingen van den Islam, yang artinya adalah Hukum Islam dan Lembaga-lembaga Islam. Selain itu juga dahulu Sekolah Tinggi Hukum atau Recht Hogescool yang menjadi cikal bakal Fakultas Hukum serta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dengan sadar mencantumkan lembaga-lembaga Islam di dalam kurikulumnya. Dengan maksud agar mereka yang bekerja di Hindia Belanda yang penduduknya beragama Islam dapat memahami tingkah laku masyarakat Islam.
Selain memiliki fungsi lembaga islam juga memiliki ciri-ciri, antara lain sebagai berikut:
a.       Lembaga islam adalah suatu organisasi dari pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas islam.
b.      Lembaga islam memiliki satu atau beberapa tujuan tertentu.
c.       Lembaga islam memiliki alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuannya, seperti bangunan, peralatan, dan sebagainya.
d.      Lembaga islam memiliki lambing-lambang.
e.       Lembaga islam mempunyai tradisi baik yang terltulis maupun tidak tertulis yang merumuskan tujuannya, tata tertibnya, dan sebagainya.

3.      Macam-macam Lembaga Islam
Dalam lingkungan masyarakat terbagai berbagai macam Lembaga Islam, antara lain sebagai berikut:
a.       Lembaga Politik Islam
Contoh:  SDI (Serikat Dagang Islam), SI (Serikat Islam), PSII (Partai Syarikat
                Islam Indonesia), MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia), Masyumi (Majlis
                Syura Muslimin Indonesia), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), dll.
b.      Lembaga Hukum Islam
Contoh:  Adat, Peradilan Agama, Peraturan Daerah Syariah dll.
c.       Lembaga Ekonomi Islam
Contoh:  BAZ, Wakaf, Bank Syariah, Koperasi Pesantren, dll.
d.      Lembaga Sosial Kemasyarakatan Islam
Contoh:  Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, Al-Irsyad, dll.
e.       Lembaga Pendidikan Islam
Contoh:  Pesantren, Madrasah, Sekolah Islam, Perguruan Tinggi Islam, dll.
f.       Lembaga Kesehatan Islam
Contoh:  Rumah Sakit Islam, Pengobatan Alternatif Islami (Thibbun Nabawy dan
             Ruqyah)
g.      Lembaga Budaya/ Seni Islam
Contoh:  LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia/
              Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia), Lembaga Seni Bela 
              Diri (Islam)
h.      Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam
Contoh:  Lembaga Penelitian dan Pengembangan Islam
i.        Lembaga Keagamaan Islam
Contoh:  Ulama’, Masjid, Dakwah, Kerohanian (Tarekat dan Majlis Dzikir)
j.        Lembaga Keluarga Islam

C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Agama merupakan suatu lembaga atau institusi penting yang mengatur kehidupan rohani manusia. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, sehingga mencapai rohani yang sempurna kesuciannya. Selain itu kita juga membutuhkan sebuah Lembaga. Lembaga yang kita butuhkan adalah lembaga Islam. Dalam makalah diatas telah dijelaskan pengertian dari Lembaga Islam yaitu suatu sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam, yang sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam yang sangat beragam mengikuti perkembangan zaman. Lembaga Islam memiliki 3 fungsi antara lain sebagai berikut:
a.       Memberikan pedoman pada anggota masyarakat muslim tentang bagaimana mereka harus bersikap dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul dan berkembang di masyarakat, terutama kebutuhan yang menyangkut kebutuhan pokok.
b.      Memberikan pegangan kepada masyarakat bersangkutan dalam melakukan pengendalian sosial menurut sistem tertentu yaitu sistem pengawasan tingkah laku para anggotanya.
c.       Menjaga keutuhan masyarakat.
Lembaga Islam dalam setiap waktu semakin berkembang karena dibutuhkan oleh masyarakat. Adapun macam-macam Lembaga Islam yaitu: Lembaga ekonomi islam, Lembaga pendidikan islam, lembaga keagamaan islam, lembaga keluarga islam, lembaga ilmu pengetahuan islam, lembaga budaya islam, lembaga kesehatan islam, lembaga hokum islam, dll.

2.      Saran
Dari pembuatan makalah ini, kami berharap kepada pembaca agar tidak hanya bersumber dari makalah ini saja untuk mengetahui pengertian kelembagaan Islam. Namun kami  berharap agar pembaca lebih banyak lagi membaca buku-buku atau referensi-referensi yang lain. Karena kami merasa makalah ini kurang lengkap dan jauh dari sempurna. Kami  mengharapkan kritik maupun saran bagi kami yang bersifat membantu agar kami tidak melakukan kesalahan yang sama dalam penyusunan makalah yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Asrohah, Hanun. Pelembagaan Pesantren. Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan  Informasi Penelitian dan Diklat Keagamaan. 2004.
Koentjoroningrat.  Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. 2009.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. 1987.
Soekanto, Soerjono. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: Rajawali Pers. 1988.

Referensi Website:
http://wahyuagungriyadiblog.blogspot.com/2011/03/lembaga-hukum-islam-di-indonesia.html
http://miratriani.blogspot.com/2012/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html



[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), 177.
[2] Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologi,( Jakarta: Rajawali Pers, 1988), 34.
[3] Koentjoroningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 134.
[4] Hanun Asrohah, Pelembagaan Pesantren, (Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Informasi Penelitian   
        dan Diklat Keagamaan, 2004), 22.
[5] Wahyu Agung Riyadi, “Lembaga Hukum Islam Indonesia”, dalam   http://wahyuagungriyadiblog.blogspot.com/2011/03/lembaga-hukum-islam-di-indonesia.html
[6] Ibid,.

GERAKAN SOSIAL-KEAGAMAAN: PESANTREN


A.    PENDAHULUAN
Sejak awal kelahirannya, pesantren tumbuh berkembang dan tersebar diberbagai pedesaan. Keberadaan pesantren sebagai lembaga keislaman yang sangat kental dengan karakteristik Indonesia ini memiliki nilai-nilai strategis dalam pengembangan masyarakat Indonesia.[1] Realitas menunjukkan, pada satu sisi sebagian besar penduduk Indonesia terdiri dari umat Islam dan pada sisi lain mayoritas dari mereka tinggal di pedesaan.
Berdasarkan realitas tersebut, pesantren sampai saat ini memiliki pengaruh cukup kuat pada hampir seluruh aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim pedesaan yang taat. Kuatnya pengaruh pesantren tersebut membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak akan memiliki dampak signifikan teradap way of life dan sikap masyarakat Islam di daerah pedesaan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa setiap upaya yang ditujukan untuk pengembangan masyarakat, terutama di daerah-daerah pedesaan perlu melibatkan dunia pesantren.

B.     GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN: PESANTREN
1.      Selayang Pandang tentang Pesantren
Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu, pondok juga berasal dari bahasa Arab fundug yang berarti hotel atau asrama.[2] Ada beberapa istilah yang ditemukan dan sering digunakan untuk menunjuk jenis pendidikan Islam tradisional khas Indonesia atau yang lebih terkenal dengan sebutan pesantren. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura, umumnya dipergunakan istilah pesantren atau pondok, di Aceh dikenal dengan istilah dayah atau rangkung atau meunasah, sedangkan di Minangkabau disebut surau.
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yaitu awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Professor Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedangkan CC. Berg berpendapat bahwa Istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana Ahli Kitab Suci Agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Dalam bahasa Jawa, santri disebut dengan cantrik yang berarti orang yang selalu mengikuti guru kemanapun guru pergi.[3]
Secara terminologis, pondok pesantren merupakan institusi sosial keagamaan yang menjadi wahana pendidikan bagi umat Islam yang ingin mendalami ilmu-ilmu keagamaan. [4] Pesantren memiliki unsur-unsur minimal[5]:
1.      Kiai yang mendidik dan mengajar
2.      Santri yang belajar
3.      Masjid
Unsur-unsur pesantren dalam bentuk segitiga tersebut mendeskripsikan kegiatan belajar mengajar keislaman yang sederhana. Kemudian pesantren mengembangkan fasilitas-fasilitas belajarnya sebab tuntutan perubahan sistem pendidikan sangat mendesak serta bertambahnya santri belajar dari kabupaten atau provinsi lain yang membutuhkan tempat tinggal. Maka unsur pesantren bertambah banyak yaitu: Kiai, Santri, Masjid, Pondok (Asrama), dan pengajian.
Terdapat beberapa alasan yang mendasari kenapa pesantren harus menyediakan asrama (pondok) bagi para santri. Pertama,kemashuran seorang kyai dan kedalaman ilmunya menarik santri-santri dari jauh, sehingga untuk dapat menggali ilmu dari kyai harus menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, sebagian besar pesantren berada di desa-desa, dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk menampung para santri. Ketiga, adanya sikap timbal balik antara kyai dan santri dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai menganggap para santri sebagai titipan Allah SWT. yang harus dilindungi.[6]

2.      Historisitas Pesantren
Pesantren jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigeneus[7]. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian dalam bahasa Jawa nggon ngaji.  Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para santri yang kemudian disebut pesantren.
Ada anggapan, pondok pesantren telah ada sejak jaman Wali Sanga (abad ke-15 dan 16 M). Pigeud dan de Graaf menyatakan bahwa pesantren merupakan jenis pusat Islam penting kedua, di samping masjid, pada periode awal abad ke-16 M. Kedua sarjana ini memandang pesantren sebagai sebuah komunitas independen yang tempatnya jauh di pegunungan, dan berasal dari lembaga sejenis jaman pra-Islam, mandala arau asyrama.  Sejarawan lain, Tjandrasasmita menemukan bahwa pada abad ke 15-17 M., pondok pesantren yang terkenal terletak di bukit Giri Gresik di bawah asuhan Sunan Giri. Lembaga yang kemudian diteruskan oleh Susuhunan Prapen, yang dalam berita asing disebut “Raja Bukit”, ini pada masa-masa tersebut agaknya merupakan sarana penting dalam proses islamisasi Nusantara. Calon-calon penganjur agama (du’āt, missionarist) dipersiapkan dan mendapat penggemblengan di pesantren ini.[8]
Sebagai institusi pendidikan Islam yang dinilai paling tua, pesantren memiliki akar transmisi sejarah yang jelas.[9] Orang yang pertama kali mendirikannya dapat dilacak meskipun ada sedikit perbedaan pemahaman. Dikalangan ahli sejarah terdapat perselisihan pendapat mengenai pendiri pesantren pertama kali. Sebagian mereka menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim (1350-1418 M), yang dikenal dengan Syaikh Magribi, dari Gujarat, India, sebagai pendiri pondok pesantren yang pertama di Jawa. Muh. Said dan Junimar Affan menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat (1370- 1467 M) sebagai pendiri pesantren pertama di Kembang kuning Surabaya. Bahkan Kiai Machrus Aly menginformasikan bahwa disamping Sunan Ampel, ada ulama yang menganggap Sunan Gunung Jati atau Syaikh Syarif Hidayatullah (w 1570 M) di Cirebon sebagai pendiri pesantren pertama, sewaktu mengasingkan diri bersama pengikutnya dalam khalwat beribadah secara istiqomah untuk ber-taqarrub  kepada Allah.
Mengenai teka-teki siapa pendiri pesantren pertama kali di Jawa, dapat diketahui melalui analisis Lembaga Research Islam (Pesantren Luhur) cukup cermat dan dapat di pegangi sebagai pedoman.[10] Dikatakan bahwa  Syaikh Maulana Malik Ibrahim sebagai peletak dasar pertama sendi-sendi berdirinya pesantren, sedangkan Raden Rahmat sebagai wali Pembina pertama di Jawa Timur. Adapun Syaikh Syarif Hidayatullah mendirikan pesantren sesudah Raden Rahmat. Teori kematian kedua wali ini menyebutkan bahwa Sunan Ampel wafat pada 1467 M. sedangkan  Sunan Gunung Jati pada tahun 1570 M. Jadi terpaut 103 tahun yang dipandang cukup untuk membedakan suatu masa perjuangan seorang penyebar Islam.
Lembaga pesantren semakin berkembang secara cepat dengan adanya sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan politik etis pemerintahan kolonial Belanda pada akhir abad ke-19. Kebijakan pemerintah kolonial ini dimaksudkan sebagai balas jasa kepada rakyat Indonesia dengan memberikan pendidikan modern termasuk budaya barat. Namun pendidikan yang yang diberikan sangat terbatas, baik dari segi jumlah yang mendapat kesempatan mengikuti pendidikan maupun dari segi tingkat pendidikan yang diberikan.
Sikap non-kooperatif dan silent opposition para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk mneghindari intervensi pemerintahan colonial serta memberi kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan. Sampai akhir abad abad ke-19, tepatnya tahun 1860an, menurut Sartono Kartodirjo (1984), jumlah pesantren mengalami peledakan yang luar biasa terutama di Jawa mencapai 300 pesantren, berikut ini data-data yang diperoleh:

Nama Daerah
Jumlah Pesantren
Jumlah Santri
Cirebon
190 Buah
2.763 Santri
Pekalongan
9 Buah
-
Kendal
60 Buah
-
Demak
7 Buah
-
Grobogan
18 Buah
-
Surabaya
410 Langgar
4.397 Santri
Sumenep
34 Langgar
-
Pamekasan
500 Langgar
-

3.      Sistem Pembelajaran di Pesantren
Pada masa-masa awal, pesantren sudah memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Tingkatan pesantren yang paling sederhana hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan Al Quran. Sementara pesantren yang agak tinggi adalah pesantren yang mengajarkan berbagai kitab fiqh, ilmu akidah, dan kadanf-kadang amalan sufi, disamping tata bahasa Arab (nahwu Sharaf). Secara umum, tradisi intelektual pesantren baik sekarang maupun waktu itu ditentukan tiga serangkai mata pelajaran yang terdiri dari fiqh menurut madzab syafi’I, akidah menurut madzab Asy’ari, dan amalan-amalan sufi dari karya-karya Imam Ghazali.
Dalam pandangan Kyai Zarkasyi, pendiri Pondok Pesantren Gontor, metode pembelajaran di pesantren merupakan hal yang setiap kali mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan penemuan metode yang lebih efektif dan efisien untuk mengajarkan masing-masing cabang ilmu pengetahuan.[11]
Berikut ini beberapa metode pembelajaran tradisional yang menjadi ciri utama pembelajaran di pondok pesantren salafiyah yaitu[12]:

a.       Metode Sorogan
Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan Kiai atau pembantunya (badal, asisten kiai). Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, di mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi orang alim.
Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan santri dalam menguasai materi. Sorogan merupakan kegiatan pembelajaran yang menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perorangan (individual), dibawah bimbingan seorang Kiai atau Ustadz.
b.      Metode Wetonan/ Bandongan
Wetonan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melakukan shalat fadhu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kiai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa Barat disebut Bandongan.
Sebelum dilakukan pembelajaran dengan metode ini, seorang Kiai atau Ustadz biasanya mempertimbangkan hal-hal berikut:
1)      Jumlah jamaah pengajian
2)      Penentuan jenis dan tingkatan Kitab yang akan dipelajari
3)      Kiai dan Santri harus aktif, misalnya: diadakan tanya jawab, santri diminta untuk membaca teks, dll.
4)      Ada media pembelajaran, seperti: papan tulis, pengeras suara, dll.
c.       Metode Musyawarah/ Bahtsul Masa’il
Metode musyawarah atau dalam istilah Batsul masa’il merupakan metode pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar.
d.      Metode Pengajian Pasaran
Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang Kiai/ Ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus (maraton) selama tenggang waktu tertentu.
e.       Metode Hafalan (muhafazhah)
Metode hafalan ialah kegiatan belajar santri dengan cara menghafal suatu teks tertentu dibawah bimbingan dan pengawasan Kiai/ Ustadz.
f.       Metode Demonstrasi/ praktek Ibadah
Metode ini adalah cara pembelajaran yang dilkukan dengan memperagakan (mendemontrasikan) suatu ketrampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok dibawah petunjuk dan bimbingan Kiai/ Ustadz.

ANALISA
Pondok pesantren menurut Dhofier, berdiri sejak abad ke-16 M, hal ini ditandai dengan diterapkannya pengajaran macam-macam kitab klasik dalam bidang teologi dan tasawuf. Keberadaan pondok pesantren dalam segala keunikannya sebenarnya merupakan penopang utama sistem pendidikan di Indonesia. Keaslian dan kekhasan pesantren disamping sebagai khazanah tradisi budaya bangsa juga merupakan kekuatan penyangga pilar pendidikan untuk memunculkan pemimpin bangsa bermoral. Mengingat secara umum pondok pesantren didirikan dengan tujuan: pertama, menyiapkan santri mendalami dan menguasai pendidikan agama Islam, kedua, dakwah menyebarkan agama Islam dan ketiga benteng pertahanan umat.
Ada anggapan juga bahwa pondok pesantren pertama kali didirikan pada masa wali songo sekitar abad ke-15 – ke 17. pondok pesantren tersebut terkenal terletak di bukit Giri Gresik di bawah asuhan Sunan Giri. Lembaga yang kemudian diteruskan oleh Susuhunan Prapen, yang dalam berita asing disebut “Raja Bukit”, ini pada masa-masa tersebut agaknya merupakan sarana penting dalam proses islamisasi Nusantara. Selain itu ada juga dikalangan ahli sejarah terdapat perselisihan pendapat mengenai pendiri pesantren pertama kali. Sebagian mereka menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim (1350-1418 M), yang dikenal dengan Syaikh Magribi, dari Gujarat, India, sebagai pendiri pondok pesantren yang pertama di Jawa. Muh. Said dan Junimar Affan menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat (1370- 1467 M) sebagai pendiri pesantren pertama di Kembang kuning Surabaya. Bahkan Kiai Machrus Aly menginformasikan bahwa disamping Sunan Ampel, ada ulama yang menganggap Sunan Gunung Jati atau Syaikh Syarif Hidayatullah (w 1570 M) di Cirebon sebagai pendiri pesantren pertama.
Awal mulanya Pesantren hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan Al Quran kemudian berkembang mengajarkan berbagai kitab fiqh, ilmu akidah, dan kadanf-kadang amalan sufi, disamping tata bahasa Arab (nahwu Sharaf). Secara umum, tradisi intelektual pesantren baik sekarang maupun waktu itu ditentukan tiga serangkai mata pelajaran yang terdiri dari fiqh menurut madzab syafi’I, akidah menurut madzab Asy’ari, dan amalan-amalan sufi dari karya-karya Imam Ghazali.

KRITIK
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional yang berkembang di masyarakat khususnya di lingkungan pedesaan. Lembaga pesantren ini jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan modern, memiliki beberapa kelemahan yang terdiri dari 3 aspek yaitu:
1.      Lembaga pendidikan pesantren memiliki kepemimpinan yang kurang demokratis, lembaga ini mengunakan sistem turun-menurun (Monarchi). Jika pemimpin pondok pesantren sudah wafat maka akan digantikan anaknya, cucunya sampai cicitnya dan seterusnya. Meskipun terkadang ada beberapa yang lebih memilih santrinya untuk menggantikan. Hal inilah yang menyebabkan tidak adanya demokrasi di lingkungan pesantren, padahal di dalamnya juga terdapat orang-orang yang berpotensi untuk memimpin pesantren tidak harus dari keturunan.
2.      Pesantren kurang memiliki kurikulum yang dinamis. Materi yang disampaikan tidak meninggalkan tradisi terdahulunya. Setidaknya ada perubahan sedikit meski tanpa meninggalkan akar awalnya, karena hal itu juga untuk perkembangan yang lebih baik.
3.      Pesantren memiliki kelemahan metode pengajaran fiqih yang bersifat dogmatis. Pesantren mengikuti atau menjabarkan suatu ajaran tanpa kritik sama sekali.

Meskipun terdapat kelemahan diatas, pesantren juga memiliki peran penting untuk kehidupan masyarakat khususnya untuk orang-orang yang beragama Islam. Adanya pesantren orang-orang akan lebih menekuni untuk mempelajari agama. Didalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 122 telah dijelaskan yang artinya:

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi kemedan perang. Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya”












DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abd. Pembaharuan Pesantren. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2006.
Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta: Tanpa Penerbit, 2003
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994.
Fanany, Abd. Chayyi. Pesantren Anak Jalanan. Surabaya: Alpha, 2008.
Haedi, Amin dkk. Masa Depan Pesantren. Jakarta: IRD PRESS, 2004.
Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren; Suatu Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997.
Masyhud, Sulthon dkk. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka, 2005.
Qomar, Mujamil. Pesantren Dari Transformasi Metodelogi Menuju            Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga, 2002.



[1]Abd. A’la, Pembaharuan Pesantren, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2006), 1.
[2]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:  
       LP3ES, 1994), 18.
[3] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Suatu Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997)
[4] Abd. Chayyi Fanany, Pesantren Anak Jalanan, (Surabaya: Alpha, 2008), 22.
[5] Mujamil Qomar,  Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,
          (Jakarta: Erlangga, 2002), 19.
[6] Ibid,. Fanany, Pesantren Anak Jalanan,11.
[7] Sulthon Masyhud dkk., Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), 1.
[8] Sukarma, ”Gerakan Sosial Keagamaan; Pesantren” (4 April 2014), 2.
[9] Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodelogi Menuju Demokratisasi Institusi, 7.
[10] Ibid., 9.
[11] Amin Haedi, dkk., Masa Depan Pesantren  (Jakarta: IRD PRESS, 2004), 40.
[12] Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta: Tanpa Penerbit, 
            2003), 38-47.