Kamis, 22 Maret 2018

GERAKAN SOSIAL-KEAGAMAAN: PESANTREN


A.    PENDAHULUAN
Sejak awal kelahirannya, pesantren tumbuh berkembang dan tersebar diberbagai pedesaan. Keberadaan pesantren sebagai lembaga keislaman yang sangat kental dengan karakteristik Indonesia ini memiliki nilai-nilai strategis dalam pengembangan masyarakat Indonesia.[1] Realitas menunjukkan, pada satu sisi sebagian besar penduduk Indonesia terdiri dari umat Islam dan pada sisi lain mayoritas dari mereka tinggal di pedesaan.
Berdasarkan realitas tersebut, pesantren sampai saat ini memiliki pengaruh cukup kuat pada hampir seluruh aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim pedesaan yang taat. Kuatnya pengaruh pesantren tersebut membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak akan memiliki dampak signifikan teradap way of life dan sikap masyarakat Islam di daerah pedesaan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa setiap upaya yang ditujukan untuk pengembangan masyarakat, terutama di daerah-daerah pedesaan perlu melibatkan dunia pesantren.

B.     GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN: PESANTREN
1.      Selayang Pandang tentang Pesantren
Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu, pondok juga berasal dari bahasa Arab fundug yang berarti hotel atau asrama.[2] Ada beberapa istilah yang ditemukan dan sering digunakan untuk menunjuk jenis pendidikan Islam tradisional khas Indonesia atau yang lebih terkenal dengan sebutan pesantren. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura, umumnya dipergunakan istilah pesantren atau pondok, di Aceh dikenal dengan istilah dayah atau rangkung atau meunasah, sedangkan di Minangkabau disebut surau.
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yaitu awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Professor Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedangkan CC. Berg berpendapat bahwa Istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana Ahli Kitab Suci Agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Dalam bahasa Jawa, santri disebut dengan cantrik yang berarti orang yang selalu mengikuti guru kemanapun guru pergi.[3]
Secara terminologis, pondok pesantren merupakan institusi sosial keagamaan yang menjadi wahana pendidikan bagi umat Islam yang ingin mendalami ilmu-ilmu keagamaan. [4] Pesantren memiliki unsur-unsur minimal[5]:
1.      Kiai yang mendidik dan mengajar
2.      Santri yang belajar
3.      Masjid
Unsur-unsur pesantren dalam bentuk segitiga tersebut mendeskripsikan kegiatan belajar mengajar keislaman yang sederhana. Kemudian pesantren mengembangkan fasilitas-fasilitas belajarnya sebab tuntutan perubahan sistem pendidikan sangat mendesak serta bertambahnya santri belajar dari kabupaten atau provinsi lain yang membutuhkan tempat tinggal. Maka unsur pesantren bertambah banyak yaitu: Kiai, Santri, Masjid, Pondok (Asrama), dan pengajian.
Terdapat beberapa alasan yang mendasari kenapa pesantren harus menyediakan asrama (pondok) bagi para santri. Pertama,kemashuran seorang kyai dan kedalaman ilmunya menarik santri-santri dari jauh, sehingga untuk dapat menggali ilmu dari kyai harus menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, sebagian besar pesantren berada di desa-desa, dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk menampung para santri. Ketiga, adanya sikap timbal balik antara kyai dan santri dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai menganggap para santri sebagai titipan Allah SWT. yang harus dilindungi.[6]

2.      Historisitas Pesantren
Pesantren jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigeneus[7]. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian dalam bahasa Jawa nggon ngaji.  Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para santri yang kemudian disebut pesantren.
Ada anggapan, pondok pesantren telah ada sejak jaman Wali Sanga (abad ke-15 dan 16 M). Pigeud dan de Graaf menyatakan bahwa pesantren merupakan jenis pusat Islam penting kedua, di samping masjid, pada periode awal abad ke-16 M. Kedua sarjana ini memandang pesantren sebagai sebuah komunitas independen yang tempatnya jauh di pegunungan, dan berasal dari lembaga sejenis jaman pra-Islam, mandala arau asyrama.  Sejarawan lain, Tjandrasasmita menemukan bahwa pada abad ke 15-17 M., pondok pesantren yang terkenal terletak di bukit Giri Gresik di bawah asuhan Sunan Giri. Lembaga yang kemudian diteruskan oleh Susuhunan Prapen, yang dalam berita asing disebut “Raja Bukit”, ini pada masa-masa tersebut agaknya merupakan sarana penting dalam proses islamisasi Nusantara. Calon-calon penganjur agama (du’āt, missionarist) dipersiapkan dan mendapat penggemblengan di pesantren ini.[8]
Sebagai institusi pendidikan Islam yang dinilai paling tua, pesantren memiliki akar transmisi sejarah yang jelas.[9] Orang yang pertama kali mendirikannya dapat dilacak meskipun ada sedikit perbedaan pemahaman. Dikalangan ahli sejarah terdapat perselisihan pendapat mengenai pendiri pesantren pertama kali. Sebagian mereka menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim (1350-1418 M), yang dikenal dengan Syaikh Magribi, dari Gujarat, India, sebagai pendiri pondok pesantren yang pertama di Jawa. Muh. Said dan Junimar Affan menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat (1370- 1467 M) sebagai pendiri pesantren pertama di Kembang kuning Surabaya. Bahkan Kiai Machrus Aly menginformasikan bahwa disamping Sunan Ampel, ada ulama yang menganggap Sunan Gunung Jati atau Syaikh Syarif Hidayatullah (w 1570 M) di Cirebon sebagai pendiri pesantren pertama, sewaktu mengasingkan diri bersama pengikutnya dalam khalwat beribadah secara istiqomah untuk ber-taqarrub  kepada Allah.
Mengenai teka-teki siapa pendiri pesantren pertama kali di Jawa, dapat diketahui melalui analisis Lembaga Research Islam (Pesantren Luhur) cukup cermat dan dapat di pegangi sebagai pedoman.[10] Dikatakan bahwa  Syaikh Maulana Malik Ibrahim sebagai peletak dasar pertama sendi-sendi berdirinya pesantren, sedangkan Raden Rahmat sebagai wali Pembina pertama di Jawa Timur. Adapun Syaikh Syarif Hidayatullah mendirikan pesantren sesudah Raden Rahmat. Teori kematian kedua wali ini menyebutkan bahwa Sunan Ampel wafat pada 1467 M. sedangkan  Sunan Gunung Jati pada tahun 1570 M. Jadi terpaut 103 tahun yang dipandang cukup untuk membedakan suatu masa perjuangan seorang penyebar Islam.
Lembaga pesantren semakin berkembang secara cepat dengan adanya sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan politik etis pemerintahan kolonial Belanda pada akhir abad ke-19. Kebijakan pemerintah kolonial ini dimaksudkan sebagai balas jasa kepada rakyat Indonesia dengan memberikan pendidikan modern termasuk budaya barat. Namun pendidikan yang yang diberikan sangat terbatas, baik dari segi jumlah yang mendapat kesempatan mengikuti pendidikan maupun dari segi tingkat pendidikan yang diberikan.
Sikap non-kooperatif dan silent opposition para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk mneghindari intervensi pemerintahan colonial serta memberi kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan. Sampai akhir abad abad ke-19, tepatnya tahun 1860an, menurut Sartono Kartodirjo (1984), jumlah pesantren mengalami peledakan yang luar biasa terutama di Jawa mencapai 300 pesantren, berikut ini data-data yang diperoleh:

Nama Daerah
Jumlah Pesantren
Jumlah Santri
Cirebon
190 Buah
2.763 Santri
Pekalongan
9 Buah
-
Kendal
60 Buah
-
Demak
7 Buah
-
Grobogan
18 Buah
-
Surabaya
410 Langgar
4.397 Santri
Sumenep
34 Langgar
-
Pamekasan
500 Langgar
-

3.      Sistem Pembelajaran di Pesantren
Pada masa-masa awal, pesantren sudah memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Tingkatan pesantren yang paling sederhana hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan Al Quran. Sementara pesantren yang agak tinggi adalah pesantren yang mengajarkan berbagai kitab fiqh, ilmu akidah, dan kadanf-kadang amalan sufi, disamping tata bahasa Arab (nahwu Sharaf). Secara umum, tradisi intelektual pesantren baik sekarang maupun waktu itu ditentukan tiga serangkai mata pelajaran yang terdiri dari fiqh menurut madzab syafi’I, akidah menurut madzab Asy’ari, dan amalan-amalan sufi dari karya-karya Imam Ghazali.
Dalam pandangan Kyai Zarkasyi, pendiri Pondok Pesantren Gontor, metode pembelajaran di pesantren merupakan hal yang setiap kali mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan penemuan metode yang lebih efektif dan efisien untuk mengajarkan masing-masing cabang ilmu pengetahuan.[11]
Berikut ini beberapa metode pembelajaran tradisional yang menjadi ciri utama pembelajaran di pondok pesantren salafiyah yaitu[12]:

a.       Metode Sorogan
Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan Kiai atau pembantunya (badal, asisten kiai). Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, di mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi orang alim.
Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan santri dalam menguasai materi. Sorogan merupakan kegiatan pembelajaran yang menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perorangan (individual), dibawah bimbingan seorang Kiai atau Ustadz.
b.      Metode Wetonan/ Bandongan
Wetonan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melakukan shalat fadhu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kiai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa Barat disebut Bandongan.
Sebelum dilakukan pembelajaran dengan metode ini, seorang Kiai atau Ustadz biasanya mempertimbangkan hal-hal berikut:
1)      Jumlah jamaah pengajian
2)      Penentuan jenis dan tingkatan Kitab yang akan dipelajari
3)      Kiai dan Santri harus aktif, misalnya: diadakan tanya jawab, santri diminta untuk membaca teks, dll.
4)      Ada media pembelajaran, seperti: papan tulis, pengeras suara, dll.
c.       Metode Musyawarah/ Bahtsul Masa’il
Metode musyawarah atau dalam istilah Batsul masa’il merupakan metode pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar.
d.      Metode Pengajian Pasaran
Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang Kiai/ Ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus (maraton) selama tenggang waktu tertentu.
e.       Metode Hafalan (muhafazhah)
Metode hafalan ialah kegiatan belajar santri dengan cara menghafal suatu teks tertentu dibawah bimbingan dan pengawasan Kiai/ Ustadz.
f.       Metode Demonstrasi/ praktek Ibadah
Metode ini adalah cara pembelajaran yang dilkukan dengan memperagakan (mendemontrasikan) suatu ketrampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok dibawah petunjuk dan bimbingan Kiai/ Ustadz.

ANALISA
Pondok pesantren menurut Dhofier, berdiri sejak abad ke-16 M, hal ini ditandai dengan diterapkannya pengajaran macam-macam kitab klasik dalam bidang teologi dan tasawuf. Keberadaan pondok pesantren dalam segala keunikannya sebenarnya merupakan penopang utama sistem pendidikan di Indonesia. Keaslian dan kekhasan pesantren disamping sebagai khazanah tradisi budaya bangsa juga merupakan kekuatan penyangga pilar pendidikan untuk memunculkan pemimpin bangsa bermoral. Mengingat secara umum pondok pesantren didirikan dengan tujuan: pertama, menyiapkan santri mendalami dan menguasai pendidikan agama Islam, kedua, dakwah menyebarkan agama Islam dan ketiga benteng pertahanan umat.
Ada anggapan juga bahwa pondok pesantren pertama kali didirikan pada masa wali songo sekitar abad ke-15 – ke 17. pondok pesantren tersebut terkenal terletak di bukit Giri Gresik di bawah asuhan Sunan Giri. Lembaga yang kemudian diteruskan oleh Susuhunan Prapen, yang dalam berita asing disebut “Raja Bukit”, ini pada masa-masa tersebut agaknya merupakan sarana penting dalam proses islamisasi Nusantara. Selain itu ada juga dikalangan ahli sejarah terdapat perselisihan pendapat mengenai pendiri pesantren pertama kali. Sebagian mereka menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim (1350-1418 M), yang dikenal dengan Syaikh Magribi, dari Gujarat, India, sebagai pendiri pondok pesantren yang pertama di Jawa. Muh. Said dan Junimar Affan menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat (1370- 1467 M) sebagai pendiri pesantren pertama di Kembang kuning Surabaya. Bahkan Kiai Machrus Aly menginformasikan bahwa disamping Sunan Ampel, ada ulama yang menganggap Sunan Gunung Jati atau Syaikh Syarif Hidayatullah (w 1570 M) di Cirebon sebagai pendiri pesantren pertama.
Awal mulanya Pesantren hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan Al Quran kemudian berkembang mengajarkan berbagai kitab fiqh, ilmu akidah, dan kadanf-kadang amalan sufi, disamping tata bahasa Arab (nahwu Sharaf). Secara umum, tradisi intelektual pesantren baik sekarang maupun waktu itu ditentukan tiga serangkai mata pelajaran yang terdiri dari fiqh menurut madzab syafi’I, akidah menurut madzab Asy’ari, dan amalan-amalan sufi dari karya-karya Imam Ghazali.

KRITIK
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional yang berkembang di masyarakat khususnya di lingkungan pedesaan. Lembaga pesantren ini jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan modern, memiliki beberapa kelemahan yang terdiri dari 3 aspek yaitu:
1.      Lembaga pendidikan pesantren memiliki kepemimpinan yang kurang demokratis, lembaga ini mengunakan sistem turun-menurun (Monarchi). Jika pemimpin pondok pesantren sudah wafat maka akan digantikan anaknya, cucunya sampai cicitnya dan seterusnya. Meskipun terkadang ada beberapa yang lebih memilih santrinya untuk menggantikan. Hal inilah yang menyebabkan tidak adanya demokrasi di lingkungan pesantren, padahal di dalamnya juga terdapat orang-orang yang berpotensi untuk memimpin pesantren tidak harus dari keturunan.
2.      Pesantren kurang memiliki kurikulum yang dinamis. Materi yang disampaikan tidak meninggalkan tradisi terdahulunya. Setidaknya ada perubahan sedikit meski tanpa meninggalkan akar awalnya, karena hal itu juga untuk perkembangan yang lebih baik.
3.      Pesantren memiliki kelemahan metode pengajaran fiqih yang bersifat dogmatis. Pesantren mengikuti atau menjabarkan suatu ajaran tanpa kritik sama sekali.

Meskipun terdapat kelemahan diatas, pesantren juga memiliki peran penting untuk kehidupan masyarakat khususnya untuk orang-orang yang beragama Islam. Adanya pesantren orang-orang akan lebih menekuni untuk mempelajari agama. Didalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 122 telah dijelaskan yang artinya:

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi kemedan perang. Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya”












DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abd. Pembaharuan Pesantren. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2006.
Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta: Tanpa Penerbit, 2003
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994.
Fanany, Abd. Chayyi. Pesantren Anak Jalanan. Surabaya: Alpha, 2008.
Haedi, Amin dkk. Masa Depan Pesantren. Jakarta: IRD PRESS, 2004.
Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren; Suatu Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997.
Masyhud, Sulthon dkk. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka, 2005.
Qomar, Mujamil. Pesantren Dari Transformasi Metodelogi Menuju            Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga, 2002.



[1]Abd. A’la, Pembaharuan Pesantren, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2006), 1.
[2]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:  
       LP3ES, 1994), 18.
[3] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Suatu Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997)
[4] Abd. Chayyi Fanany, Pesantren Anak Jalanan, (Surabaya: Alpha, 2008), 22.
[5] Mujamil Qomar,  Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,
          (Jakarta: Erlangga, 2002), 19.
[6] Ibid,. Fanany, Pesantren Anak Jalanan,11.
[7] Sulthon Masyhud dkk., Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), 1.
[8] Sukarma, ”Gerakan Sosial Keagamaan; Pesantren” (4 April 2014), 2.
[9] Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodelogi Menuju Demokratisasi Institusi, 7.
[10] Ibid., 9.
[11] Amin Haedi, dkk., Masa Depan Pesantren  (Jakarta: IRD PRESS, 2004), 40.
[12] Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta: Tanpa Penerbit, 
            2003), 38-47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar