Senin, 20 Maret 2017

JOHN WANSBROUGH (ORIENTALIS)



A.    PENDAHULUAN
Menarik sekali membicarakan orientalisme. Selain masalah ini sudah berabad-abad berlangsung dengan berbagai bentuknya, menampilkan tokoh-tokoh dengan berbagai pandangannya, ditulis dalam beribu-ribu buku juga mengalami metamorphosis. Orientalisme adalah tradisi kajian ketimuran dan keislaman di dunia Barat yang telah berumur berabad-abad, karena itu maka semangat dan kualitas kajian dapat dikatakan ilmiah. Namun karena subyek kajian ini umumnya adalah manusia Barat maka biasa ideologis, kultural dan religious tidak dapat dihindari. Akibat dari biasa-biasa tersebut orientalisme menghasilkan frameworknya sendiri dalam mengkaji masalah-masalah ketimuran dan keislaman.
Sebagai mahasiswa muslim dan tinggal di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, penulis dan mungkin kebanyakan dari teman-teman sesama mengakui masih sedikit menyimpan rasa curiga terhadap kajian-kajian yang dilakukan orientalis. Namun demikian, akan lebih bersahaja bila kita mempelajari tema-tema kajian yang mereka angkat dengan beberapa langkah akademis yang mendasari penolakan ataupun yang membuat mereka masih kurang mau menerima ajaran islam yang mana hal tersebut merupakan suatu bentuk pemerhatian khusus bahkan kadangkala mampu membuka mata demi tercapainya keterbukaan dan pemahaman terhadap studi keislaman khususnya.
Adanya berbagai macam kajian-kajian orientalis tersebut menyebabkan bermunculan para oriental-oriental. Dalam makalah ini akan dibahas salah satu tokoh orientalis yang bernama John Wansbourgh.
 

B.     SELAYANG PANDANG TENTANG ORIENTALISME
Longman Dictionary of English Language “Orientalisme berasal dari kata orient yang berarti timur, sebagai lawan kata occident yang berarti barat”. Dengan demikian, orientalisme adalah hal-hal yang berhubungan dengan masalah ketimuran, dan secara khusus orientalisme adalah scholarship or lerning in oriental subject, kesarjanaan atau pengkajian dalam bidang-bidang ketimuran.[1]
Orientalisme adalah pengetahuan mengenai dunia Timur yang menempatkan segala sesuatu yang bersifat Timur dalam mata pelajaran sekolah, mahkamah, penjara atau buku-buku pegangan untuk tujuan penelitian, pengkajian, pengadilan, pendisiplinan atau pemerintahan atasnya.[2]
Adapun kata orientalis dalam pengertian umum berarti semua ahli Barat yang mempelajari dunia Timur (Jauh, Tengah atau Dekat) tentang bahasanya, sastranya, peradabannya maupun agamanya. Secara khusus, pengertian orientalisme yaitu penelitian bangsa Barat yang berkaitan dengan dunia Timur yang Islam dalam bahasanya, sastranya, sejarahnya, i’tikad-i’tikadnya, syariat-syariatnya serta peradabannya secara umum.[3]
Dari berbagai pengertian orientalisme menurut para ahli, pemakalah dapat menyimpulkan bahwa orientalisme merupakan suatu paham atau aliran yang dilakukan oleh orang Barat untuk menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur khususnya Arab dan Islam mengenai sejarah, kebudayaan, ilmu-ilmu, agama, peradaban, kehidupan dan lain-lainnya.

C.    KAJIAN ORIENTALIS JOHN WENSBROUGH
1.      Biografi
John Wansbrough adalah seorang ahli tafsir terkemuka di London. Ia memulai karir akademiknya tahun 1960. Pada saat itu, ia menjadi staf pengajar di Departemen Sejarah di School of Oriental and Africa Studies (SOAS University of London). Kemudian, ia menjadi dosen Bahasa Arab yang berada di naungan Departemen Sastra Timur Dekat. John Wansbrough sempat menjabat direktur di universitas tempat ia bekerja.  Ia adalah orang produktif terbukti banyak literatur yang ditulisnya. Salah satunya adalah yang sedang dikaji dalam makalah ini yang berjudul Quranic Studies: Source and Methods of Scriptual Interpretation. Buku ini ditulis John Wansbrough dalam kurun 1968 sampai Juli 1972 dan dicetak tahun 1977 di Oxford University Press. Karya la\in yang ditulis John Wansbrough adalah “A Note on Arabic Rethoric” dalam Lebende Antike: Symposium fur Rudolf Suhnel, “Arabic Rethoric and Qur’anic Exegesis”, dalam Buletin of the School of Oriental and African Studies, Majas al-Qur’an: Peripharastic Exegesis, The Sectarian Millieu: Content and Composition of Islamic Salvation History. Dari sini nampak bahwa John Wansbrough sangat intens dalam mengkaji al-Qur’an dan yang terkait di dalamnya. Sampai di sini, tidak banyak hal yang ditemukan berkenaan dengan pribadi John Wansbrough dan aktivitas keilmuannya di SOAS University of London, walaupun sudah dilakukan penelusuran lewat internet melalui search engine.[4]
Karir akademik Wansbrough (1928-2002) sebenarnya dibidang sejarah. Sejak 1960 ia menjadi staf pengajar di school of African and Oriental Studies (SOAS University of London). Ia juga seorang penyuka kajian literature. Ia banyak meneliti tentang sejarah perdagangan di kawasan Mediterania dan yang berkaitan dengan Yahudi-Arab. Tatkala dirinya meneliti dokumen zaman pertengahan dengan focus pada kajian literature berbasis produk budaya, disinilah awal mula ketertarikan Wansbrough dengan Studi Alquran.

2.      Pemikiran-pemikiran
a.      Persoalan Kenabian sebagai titik tolak Wansbrough mengkritik AlQuran[5]
      Ada banyak klaim dalam ayat-ayat Alquran yang melegitimasi Nabi Muhammad sebagia utusan Tuhan, yang menjadi penutup para Nabi (QS. 33:40) sekaligus mengkoreksi ajaran-ajaran terdahulu (QS.5:6 yaitu Taurat dan QS. 3:3 yaitu Taurat dan Injil). Namun jika dibaca secara terbalik, seperti dilakukan Wansbrough yang terjadi justru mendelegitimasi kenabian Muhammad. Sebagai contoh dalam QS.7:157 muncul penegasan bahwa Muhammad adalah Nabi sekaligus Rasul yang termaktub dalam kitab Taurat dan Injil. Karenanya, Wansbrough yakin jika Muhammad tak lain adalah seorang visioner hebat yang melalui QS. 7:157, mampu menyajikan fakta yang membuat dirinya seolah ditakdirkan untuk hadir didunia, sebagai janji yang secara khusus ditujukan kepada para ahli kitab
      Muhammad sebagai Rasul yang dilantik Tuhan pada usia 40 tahun, menurut Wansbrough adalah suatu hal yang tidak biasa. Dalam tradisi Kenabian-kerasulan terdahulu, yang umum adalah pelantikan di usia kanak-kanak dan dalam bentuk, merespon perkataan Tuhan. Wansbrough mencontohkan Nabi Samuel dan Musa. Dalam I Samuel 1:20-28. 2:18-21 Dan 3:1-4, diceritakan bagaimana pelantikan Samuel sebagai Nabi terjadi, Samuel merespon sapaan Tuhan. Dalam keluaran 1:8 sampai 3:1 dijelaskan bagaimana Tuhan menyiapkan Musa kelak menjadi salah seorang utusanNya ketika masih usia kanak-kanak.
      Wansbrough mengkritik proses pengangkatan Nabi Muhammad sebagai Nabi yang tidak sama dengan Samuel dan Musa. Hal ini berimplikasi pada adanya kecurigaan pada kenabian Muhammad. Wansbrough berkesimpulan ada 3 teori penting tentang kenabian Muhammad yang digunakan Muhammad untuk melegitimasi dirinya. Ketiga teori ini adalah purification, the beatific vision, the ascencion/nocturnal journey.
      Pertama purification atau penyucian diri adalah dogma islam akan kesucian dada Muhammad dari kesalahan. Sebagaimana tertuang dalam QS. 94:1-3. Hal ini berimplikasi pada label ismah (keterhindaran dari berbuat dosa) Muhammad yang membuat kenabiaanya sempurna. Sebagai bukti nyata, Muhammad pernah menolak tawaran kekuasaan dan kekayaan yang ditawarkan kafir Quraisy kepadnya. Ini mnjadi bukti ismah Muhammad.
      Kedua the beatific vision dipahami sebagai petunjuk langsung seorang hamba dalam bentuk pengindraan langsung. Dalam hal ini, Muhammad mendapat pangetahuan yang tidak biasa yang itu didapatkannya dari Allah, sebagaimana dikisahkan dalam QS. 53:11-18, 81:19-20 dan 48:27 dalam Bahasa manusia penglihatan semacam ini seperti penglihatan menggunakan Qolbu.
      Ketiga the ascencion atau mi’raj yaitu proses naiknya Muhammad ke hadapan Tuhan. Terkait pula didalamnya adalah isra’ yaitu perjalanan malam hari, dari masjid al-Haram menuju masjid al-Aqsa. Sebagaimana dikisahkan QS.17:1. Menurut Wansbrough ada yg harus dicurigai dari fakta Isra’ dan mi’raj ini. Selain hanya mencantumkan saksi mata’abd yang adalah Muhammad sendiri,. Perjalanan isra’ sendiri pada QS. 17:1 juga menyerupai kisah versi Musa dalam Alquran dan bible. Yang menjadi pertanyaan apakah ini  benar-benar isra’ tentang Muhammad atau menceritakan isra’ Musa. Dengan bukti keterangan tentang Musa pada ayat selanjutnya QS. 17:12. Ketiga hal diatas tampak seperti sihir Nabi Muhammad selain itu Alquran yang memiliki kemukzizatan tekstual menambah Wansbrough yakin adanya sihir dibalik diri Muhammad  melalui agama yang dibawanya.
Pelemahan kenabian Muhammad dilanjutkan dengan mendelegitemasi Alquran sebagai kitab suci yang dalam pandangan Wansbrough Alquran tak lain adalah alat legitimasi bagi Muhammad, sebagaimana dijelaskan berikut.
b.      Dialektika dan pandangan ontologis tentang Alquran
      Alquran sebagai dokumen suci haruslah membentengi dirinya dari segala yang menilainya tidak suci. Karenanya menurut Wansbrough, dibangunlah sifat-sifat penegas berupa independensi, historisitas dan korelatif Alquran dengan Sesuatu di luar diri Alquran sehingga dapat dicapai pemahaman yang utuh mengenai Alquran sebagai suatu being (eksistensi) yang eksis.
      Secara konseptual, materi Alquran terbangun dari kisah-kisah yang termuat dalam agama monoteis yang tereduksi (atau sengaja direduksi) secara bervariasi pada beberapa materinya dan dalam bahasa yang parabolik. Dalam rangka menambal celah tersebut agar meyakinkan pembacannya, Wansbrough melaui analisi literatur mengemukakan ada 4 teori yang bisa dijadikan penjelasan perihal penegas yang dimaksud ditemukan dalam teks alquran.
      Pertama retribution. Dalam Alquran  banyak ditemukan pembahasan mengenai koreksi Alquran atas  apa yang terjadi dimasa lampau. Misalnya adalah statemen berapa banyak umat terdahulu yang kami luluhlantakan (QS 6:6, 19”74 DAN 98). Ini tentu menegaskan bahwa ada struktur yang sengaja dibangun untuk membangun indepedensi Alquran yang secara bersamaan juga menegaskan adanya korelasi antara Alquran dengan tradisi para pendahulunya, Yahudi dan Kristen.
      Kedua sign yang dimaksud Wansbrough sebagai sign adalah  pesan yang bersifat publik bahwa Muhammad adalah wakil Tuhan. Sign ini memilki cakupan yang lebih luas dari retribution. Dalam islam sign ini dikenal ayah, sebagaimna tergambarkan dalam QS 38:29. Dalam sign, ayat-ayat Alquran digambarkan dalam bentuk perumpamaan yang diderivasi dari fenomena kreasi ketuhanan. Wansbrough membagi sign ke dalam 4 jenis yaitu: kejadian alam yang tidak umum terjadi, petunjuk, kitab suci yang berkaitan dan keajaiban. Keempat jenis sign menurut Wansbrough, bahu-membahu membentuk opini publik tentang kebenaran dan validitas Muhammad sebagai utusan Tuhan di hadapan kaumnya.
      Ketiga exile. Yang dimaksud exile adalah keterasingan seseorang dari tempat asalnya. Dalam QS. 19:46 dan 48 diceritakan kisah Nabi Ibrahim yang terasing secara sosial hendak mencari Tuhannya dengan jalan mengasingkan diri. Dalam kisah ini juga, menurut Wansbrough, Alquran membangun konsep pengasingan versi Nabi Muhammmad sebagaimana dalm QS. 73:10 untuk berhijrah mencari tempat yang lebih baik. Namun demikian, alih-alih merupakan perintah Tuhan exile dalam tradisi Kristen, menurut Wansbrough, justru memiliki makna sebaliknya, dengan makna orang buangan. Dari tesis exile ini, Wansbrough hendak menjelaskan bahwa hijrah Muhammad ke Madinah bukan merupakan tindakan suci, melainkan keterbuangan dari Muhammad dan pengikutnya dari Makkah dalam arti negatif.
      Keempat convenant (perjanjian) mengacu pada janji yang diambil kepada Muhammad, sebagaiman juga dilakukan Allah terhadap nabi-nabi sebelum Muhammad, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Di sini Tuhan sebagai agent (subjek) dan komunikasi ini dinamakan unilateral. Selain antara Tuhan dan utusanNya, perjanjian dilakukan antara Tuhan dan manusia biasa yang mana Tuhan bertindak sebagai objek dan dinamakan  Bilateral sebagaimana digambarkan dalam QS. 2:63, 83 dan 93, QS. 3:187, QS. 4:154, QS. 5:12,14 dan 70, QS. 7:169, QS. 57:8). Dalam konsep Bilateral ini lantas dihasilkan sebuah ikatan yang mana memungkinkan manusia mendapatkan  apabila apa yang dijadikan perjanjian tidak dapat ditepati, sebagaimana dalam QS 17:34 dan QS.33:15. Convenant ini juga berlaku antar sesame manusia yang mana secara implisit mengajarkan apa yang menjadi kewajiban manusia ketika telah sanggu melakukan perjanjian secara khusus kepada antar sesama.

3.      Pendekatan dan Metodologi
Pendekatan yang dilakukan oleh Wansbrough lebih jauh ungkap Rippin adalah skeptisisme, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan mengenai ketidakpercayaan atas sumber-sumber Islam. Pandangan ini sama dengan John Burton yang memandang bahwa ada kontradiksi dalam sumber muslim tentang pengumpulan al-Qur’an. Namun demikian pandangan seperti ini berbeda dengan pandangan yang telah berkembang jauh di Barat dan keyakinan muslim. Pendekatan histories dalam keislaman menimbulkan nilai yang berbeda tergantung bidang apa yang dikaji. Metode ini memiliki kelemahan di mana menampakkan sisi luar dari fenomena keagamaan yang dikaji dan tidak mampu mengungkapkan makna yang essensial dan substansial. Kekurangan tersebut sering juga didukung oleh ketidaktersediaannya sumber kajian yang lengkap dan sumber yang salah.
Adapun metode literary analysis diterapkan John Wansbrough dalam menganalisis cerita-cerita yang diungkapkan dalam al-Qur’an. Menurutnya, adanya perbedaan cerita dalam al-Qur’an menunjukkan adanya perpaduan tradisi di dalamnya.[6] Dari beberapa pendekataan di atas, kiranya John Wansbrough telah melakukan berbagai metode studi al-Qur’an yang telah banyak digunakan oleh para Orientalis atau Islamolog Barat, baik sebelum maupun sesudahnya yang secara ringkas dinyatakan oleh Azim Naji sebagai berikut:
1.      Metode Filologisme
2.      Metode-Pendekatan Historisisme
3.      Pendekatan Fenomenologi
4.      Pendekatan Historisme-Fenomenologis
5.      Dari pendekatan Objektif hingga Hermeneutika

D.    SIKAP DAN PENUTUP
1.      Analisis dan Kritik
Dari paparan diatas dapat kita ketahui bahwa John Wansbrough melalui teks Al-Quran, telah berhasil membuktikan bahwa Muhammad dengan Alquran dan Islam yang dibawanya adalah suatu duplikasi nyata. Secara umum karya John Wansbrough memberikan kritik yang tajam atas kenabian Muhammad dan al-Qur’an. Kenabiannya dianggap sebagai imitasi (tiruan) dari kenabian nabi Musa as. yang dikembangkan secara teologis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Arab. Al-Qur’an, menurut John Wansbrough bukan merupakan sumber biografis Muhammad, melainkan sebagai konsep yang disusun sebagai teologi Islam tentang kenabian. Oleh karena itu, pemikiran yang dilontarkan John Wansbrough banyak berseberangan dengan pemikir lainnya baik di kalangan orientalis Barat maupun pemikir muslim.
John Wansbrough berpandangan bahwa al-Qur’an bukanlah sumber sejarah yang otoritatif, dan tidak cukup menjadi bukti dalam mengungkap sumber dan asal-usul geneologisnya sendiri. Skeptisisme Wansbrough ini terutama disebabkan oleh sangat sedikitnya bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian untuk mengkaji Islam pada masa awal.
Menurut saya, sangat banyak para orientalis yang mengemukakan berbagai macam pemikirannya, misalnya Alqur’an yang telah mereka kaji sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda tidak saja dengan kalangan kaum muslimin, bahkan di kalangan mereka sendiri. Berbagai cara pula sarjana muslim menepisnya. Hanya saja keecurigaan umat Islam akan dipandang berlebihan apabila mereka bersiakap apriori terhadap setiap karya atau pandangan orientalis tentang al-Qur’an, tanpa memahami dan menganalisisnya secara kritis dan teliti. saya harus menanggapi mereka dengan dalam kerangka akademis dan tidak emosional.
Saya memberikan kritik terhadap tesis Wansbrough bahwa Al-Qur’an merupakan perpaduan berbagai tradisi yang berbeda. Saya menilai bahwa Wansbrough belum sepenuhnya memahami fenomena substitusi ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lainnya. Fenomena ini diakui sendiri oleh Al-Qur’an dan dinamakan naskh yang berarti substitusi atau penghapusan. Untuk menjadi substitusi harus ada ayat baru sebagai pengganti ayat yang lama. Inilah sebuah keharusan kronologis yang sulit dipertahankan bila Al-Qur’an hanya merupakan perpaduan serentak dari berbagai tradisi. Saya juga menilai bahwa Wansbrough kurang memiliki data-data historis mengenai asal-usul, sifat atau karakter, evaluasi dan person-person yang terlibat dalam apa yang dia sebut sebagai tradisi-tradisi tersebut. Sejumlah persoalan penting dalam Al-Qur’an, menurut saya, hanya dapat dipahami dalam terma-terma kronologis yang terbentang dalam suatu dokumen yang tunggal. Al-Qur’an tidak dapat dipahami sebagai sebuah perpaduan unsur-unsur yang berbeda dan bertentangan. Dengan demikian, tesis Wansbrough yang didasarkan pada adanya repetisi dan duplikasi dalam Al-Qur’an tidaklah tepat, karena hal tersebut lebih mencerminkan perkembangan tema atau misi kenabian Muhammad dalam tahapan-tahapan kronologisnya.
Sebuah Charghond untuk menanggapi Orientalis
“Sikap skeptik a priori, no! sikap kritis, yes! Wallahu ‘alamu bi al-shawab”
  
DAFTAR PUSTAKA
Buchari, Mannan. Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta: AMZAH, 2006.
Said, Edward W. Orientalisme. Bandung: Pustaka.1985
Zaqzuq, Mahmud Hamdy, Orientalisme & Latar Belakang Pemikirannya. Bangil: Persatuan, 1984.
Refrensi Website:



[1]  Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), 7
[2]  Edward W. Said, Orientalisme,(Bandung: Pustaka, 1985), 52
[3] Mahmud Hamdy Zaqzuq, Orientalisme & Latar Belakang Pemikirannya, (Bangil: Persatuan), 1984, 4.
[5]http://www.academika.edu/menelaah_pemikiran_John_Wansbrough_tentang_Muhammad_Alquran_dan_Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar