A.
PENDAHULUAN
Menarik
sekali membicarakan orientalisme. Selain masalah ini sudah berabad-abad
berlangsung dengan berbagai bentuknya, menampilkan tokoh-tokoh dengan berbagai
pandangannya, ditulis dalam beribu-ribu buku juga mengalami metamorphosis. Orientalisme
adalah tradisi kajian ketimuran dan keislaman di dunia Barat yang telah berumur
berabad-abad, karena itu maka semangat dan kualitas kajian dapat dikatakan
ilmiah. Namun karena subyek kajian ini umumnya adalah manusia Barat maka biasa
ideologis, kultural dan religious tidak dapat dihindari. Akibat dari
biasa-biasa tersebut orientalisme menghasilkan frameworknya sendiri dalam
mengkaji masalah-masalah ketimuran dan keislaman.
Sebagai
mahasiswa muslim dan tinggal di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, penulis dan mungkin kebanyakan dari teman-teman sesama mengakui masih
sedikit menyimpan rasa curiga terhadap kajian-kajian yang dilakukan orientalis.
Namun demikian, akan lebih bersahaja bila kita mempelajari tema-tema kajian
yang mereka angkat dengan beberapa langkah akademis yang mendasari penolakan
ataupun yang membuat mereka masih kurang mau menerima ajaran islam yang mana
hal tersebut merupakan suatu bentuk pemerhatian khusus bahkan kadangkala mampu
membuka mata demi tercapainya keterbukaan dan pemahaman terhadap studi
keislaman khususnya.
Adanya
berbagai macam kajian-kajian orientalis tersebut menyebabkan bermunculan para
oriental-oriental. Dalam makalah ini akan dibahas salah satu tokoh orientalis
yang bernama John Wansbourgh.
B.
SELAYANG
PANDANG TENTANG ORIENTALISME
Longman Dictionary of English
Language “Orientalisme berasal dari kata orient yang berarti timur,
sebagai lawan kata occident yang berarti barat”. Dengan demikian,
orientalisme adalah hal-hal yang berhubungan dengan masalah ketimuran, dan
secara khusus orientalisme adalah scholarship or lerning in oriental
subject, kesarjanaan atau pengkajian dalam bidang-bidang ketimuran.[1]
Orientalisme adalah pengetahuan
mengenai dunia Timur yang menempatkan segala sesuatu yang bersifat Timur dalam
mata pelajaran sekolah, mahkamah, penjara atau buku-buku pegangan untuk tujuan
penelitian, pengkajian, pengadilan, pendisiplinan atau pemerintahan atasnya.[2]
Adapun kata orientalis
dalam pengertian umum berarti semua ahli Barat yang mempelajari dunia Timur
(Jauh, Tengah atau Dekat) tentang bahasanya, sastranya, peradabannya maupun
agamanya. Secara khusus, pengertian orientalisme yaitu penelitian bangsa
Barat yang berkaitan dengan dunia Timur yang Islam dalam bahasanya, sastranya,
sejarahnya, i’tikad-i’tikadnya, syariat-syariatnya serta peradabannya secara
umum.[3]
Dari berbagai
pengertian orientalisme menurut para ahli, pemakalah dapat menyimpulkan bahwa
orientalisme merupakan suatu paham atau aliran yang dilakukan oleh orang Barat
untuk menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur
khususnya Arab dan Islam mengenai sejarah, kebudayaan, ilmu-ilmu, agama,
peradaban, kehidupan dan lain-lainnya.
C.
KAJIAN ORIENTALIS JOHN WENSBROUGH
1.
Biografi
John
Wansbrough adalah seorang ahli tafsir terkemuka di London. Ia memulai karir
akademiknya tahun 1960. Pada saat itu, ia menjadi staf pengajar di Departemen
Sejarah di School of Oriental and Africa Studies (SOAS University of London).
Kemudian, ia menjadi dosen Bahasa Arab yang berada di naungan Departemen Sastra
Timur Dekat. John Wansbrough sempat menjabat direktur di universitas tempat ia
bekerja. Ia adalah orang produktif terbukti banyak literatur yang
ditulisnya. Salah satunya adalah yang sedang dikaji dalam makalah ini yang
berjudul Quranic Studies: Source and Methods of Scriptual Interpretation. Buku
ini ditulis John Wansbrough dalam kurun 1968 sampai Juli 1972 dan dicetak tahun
1977 di Oxford University Press. Karya la\in yang ditulis John Wansbrough adalah “A Note on Arabic
Rethoric” dalam Lebende Antike: Symposium fur Rudolf Suhnel, “Arabic Rethoric
and Qur’anic Exegesis”, dalam Buletin of the School of Oriental and African
Studies, Majas al-Qur’an: Peripharastic Exegesis, The Sectarian Millieu: Content
and Composition of Islamic Salvation History. Dari sini nampak bahwa John
Wansbrough sangat intens dalam mengkaji al-Qur’an dan yang terkait di dalamnya.
Sampai di sini, tidak banyak hal yang ditemukan berkenaan dengan pribadi John
Wansbrough dan aktivitas keilmuannya di SOAS University of London, walaupun
sudah dilakukan penelusuran lewat internet melalui search engine.[4]
Karir akademik Wansbrough
(1928-2002) sebenarnya dibidang sejarah. Sejak 1960 ia menjadi staf pengajar di
school of African and Oriental Studies (SOAS University of London). Ia
juga seorang penyuka kajian literature. Ia banyak meneliti tentang sejarah
perdagangan di kawasan Mediterania dan yang berkaitan dengan Yahudi-Arab.
Tatkala dirinya meneliti dokumen zaman pertengahan dengan focus pada kajian
literature berbasis produk budaya, disinilah awal mula ketertarikan Wansbrough
dengan Studi Alquran.
2.
Pemikiran-pemikiran
a.
Persoalan Kenabian sebagai titik tolak Wansbrough mengkritik
AlQuran[5]
Ada banyak klaim dalam
ayat-ayat Alquran yang melegitimasi Nabi Muhammad sebagia utusan Tuhan, yang
menjadi penutup para Nabi (QS. 33:40) sekaligus mengkoreksi ajaran-ajaran
terdahulu (QS.5:6 yaitu Taurat dan QS. 3:3 yaitu Taurat dan Injil). Namun jika
dibaca secara terbalik, seperti dilakukan Wansbrough yang terjadi justru
mendelegitimasi kenabian Muhammad. Sebagai contoh dalam QS.7:157 muncul
penegasan bahwa Muhammad adalah Nabi sekaligus Rasul yang termaktub dalam kitab
Taurat dan Injil. Karenanya, Wansbrough yakin jika Muhammad tak lain adalah
seorang visioner hebat yang melalui QS. 7:157, mampu menyajikan fakta yang
membuat dirinya seolah ditakdirkan untuk hadir didunia, sebagai janji yang
secara khusus ditujukan kepada para ahli kitab
Muhammad sebagai Rasul yang
dilantik Tuhan pada usia 40 tahun, menurut Wansbrough adalah suatu
hal yang tidak biasa. Dalam tradisi Kenabian-kerasulan terdahulu, yang umum
adalah pelantikan di usia kanak-kanak dan dalam bentuk, merespon perkataan
Tuhan. Wansbrough mencontohkan Nabi Samuel dan Musa. Dalam I Samuel 1:20-28.
2:18-21 Dan 3:1-4, diceritakan bagaimana pelantikan Samuel sebagai Nabi
terjadi, Samuel merespon sapaan Tuhan. Dalam keluaran 1:8 sampai 3:1 dijelaskan
bagaimana Tuhan menyiapkan Musa kelak menjadi salah seorang utusanNya ketika masih
usia kanak-kanak.
Wansbrough mengkritik
proses pengangkatan Nabi Muhammad sebagai Nabi yang tidak sama dengan Samuel
dan Musa. Hal ini berimplikasi pada adanya kecurigaan pada kenabian Muhammad.
Wansbrough berkesimpulan ada 3 teori penting tentang kenabian Muhammad yang digunakan
Muhammad untuk melegitimasi dirinya. Ketiga teori ini adalah purification,
the beatific vision, the ascencion/nocturnal journey.
Pertama purification atau penyucian diri adalah dogma islam
akan kesucian dada Muhammad dari kesalahan. Sebagaimana tertuang dalam QS. 94:1-3.
Hal ini berimplikasi pada label ismah (keterhindaran dari berbuat dosa)
Muhammad yang membuat kenabiaanya sempurna. Sebagai bukti nyata, Muhammad
pernah menolak tawaran kekuasaan dan kekayaan yang ditawarkan kafir Quraisy kepadnya.
Ini mnjadi bukti ismah Muhammad.
Kedua the beatific
vision dipahami sebagai petunjuk langsung seorang hamba dalam bentuk pengindraan
langsung. Dalam hal ini, Muhammad mendapat pangetahuan yang tidak biasa yang
itu didapatkannya dari Allah, sebagaimana dikisahkan dalam QS. 53:11-18,
81:19-20 dan 48:27 dalam Bahasa manusia penglihatan semacam ini seperti penglihatan
menggunakan Qolbu.
Ketiga the ascencion
atau mi’raj yaitu proses naiknya Muhammad ke hadapan Tuhan. Terkait pula
didalamnya adalah isra’ yaitu perjalanan malam hari, dari masjid al-Haram
menuju masjid al-Aqsa. Sebagaimana dikisahkan QS.17:1. Menurut Wansbrough ada
yg harus dicurigai dari fakta Isra’ dan mi’raj ini. Selain hanya
mencantumkan saksi mata’abd yang adalah Muhammad sendiri,. Perjalanan isra’
sendiri pada QS. 17:1 juga menyerupai kisah versi Musa dalam Alquran dan bible.
Yang menjadi pertanyaan apakah ini
benar-benar isra’ tentang Muhammad atau menceritakan isra’ Musa. Dengan
bukti keterangan tentang Musa pada ayat selanjutnya QS. 17:12. Ketiga hal
diatas tampak seperti sihir Nabi Muhammad selain itu Alquran yang memiliki kemukzizatan
tekstual menambah Wansbrough yakin adanya sihir dibalik diri Muhammad melalui agama yang dibawanya.
Pelemahan kenabian Muhammad dilanjutkan dengan mendelegitemasi
Alquran sebagai kitab suci yang dalam pandangan Wansbrough Alquran tak lain
adalah alat legitimasi bagi Muhammad, sebagaimana dijelaskan berikut.
b.
Dialektika dan pandangan ontologis tentang Alquran
Alquran sebagai dokumen
suci haruslah membentengi dirinya dari segala yang menilainya tidak suci.
Karenanya menurut Wansbrough, dibangunlah sifat-sifat penegas berupa
independensi, historisitas dan korelatif Alquran dengan Sesuatu di luar diri Alquran
sehingga dapat dicapai pemahaman yang utuh mengenai Alquran sebagai suatu being
(eksistensi) yang eksis.
Secara konseptual, materi
Alquran terbangun dari kisah-kisah yang termuat dalam agama monoteis yang
tereduksi (atau sengaja direduksi) secara bervariasi pada beberapa materinya
dan dalam bahasa yang parabolik. Dalam rangka menambal celah tersebut agar
meyakinkan pembacannya, Wansbrough melaui analisi literatur mengemukakan ada 4
teori yang bisa dijadikan penjelasan perihal penegas yang dimaksud ditemukan
dalam teks alquran.
Pertama retribution.
Dalam Alquran banyak ditemukan
pembahasan mengenai koreksi Alquran atas
apa yang terjadi dimasa lampau. Misalnya adalah statemen berapa banyak
umat terdahulu yang kami luluhlantakan (QS 6:6, 19”74 DAN 98). Ini tentu
menegaskan bahwa ada struktur yang sengaja dibangun untuk membangun indepedensi
Alquran yang secara bersamaan juga menegaskan adanya korelasi antara Alquran
dengan tradisi para pendahulunya, Yahudi dan Kristen.
Kedua sign yang
dimaksud Wansbrough sebagai sign adalah
pesan yang bersifat publik bahwa Muhammad adalah wakil Tuhan. Sign
ini memilki cakupan yang lebih luas dari retribution. Dalam islam sign
ini dikenal ayah, sebagaimna tergambarkan dalam QS 38:29. Dalam sign,
ayat-ayat Alquran digambarkan dalam bentuk perumpamaan yang diderivasi dari
fenomena kreasi ketuhanan. Wansbrough membagi sign ke dalam 4 jenis
yaitu: kejadian alam yang tidak umum terjadi, petunjuk, kitab suci yang
berkaitan dan keajaiban. Keempat jenis sign menurut Wansbrough,
bahu-membahu membentuk opini publik tentang kebenaran dan validitas Muhammad sebagai
utusan Tuhan di hadapan kaumnya.
Ketiga exile.
Yang dimaksud exile adalah keterasingan seseorang dari tempat asalnya.
Dalam QS. 19:46 dan 48 diceritakan kisah Nabi Ibrahim yang terasing secara
sosial hendak mencari Tuhannya dengan jalan mengasingkan diri. Dalam kisah ini
juga, menurut Wansbrough, Alquran membangun konsep pengasingan versi Nabi Muhammmad
sebagaimana dalm QS. 73:10 untuk berhijrah mencari tempat yang lebih baik.
Namun demikian, alih-alih merupakan perintah Tuhan exile dalam tradisi
Kristen, menurut Wansbrough, justru memiliki makna sebaliknya, dengan makna
orang buangan. Dari tesis exile ini, Wansbrough hendak menjelaskan bahwa
hijrah Muhammad ke Madinah bukan merupakan tindakan suci, melainkan
keterbuangan dari Muhammad dan pengikutnya dari Makkah dalam arti negatif.
Keempat convenant (perjanjian)
mengacu pada janji yang diambil kepada Muhammad, sebagaiman juga dilakukan
Allah terhadap nabi-nabi sebelum Muhammad, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Di sini
Tuhan sebagai agent (subjek) dan komunikasi ini dinamakan unilateral.
Selain antara Tuhan dan utusanNya, perjanjian dilakukan antara Tuhan dan
manusia biasa yang mana Tuhan bertindak sebagai objek dan dinamakan Bilateral sebagaimana digambarkan dalam
QS. 2:63, 83 dan 93, QS. 3:187, QS. 4:154, QS. 5:12,14 dan 70, QS. 7:169, QS.
57:8). Dalam konsep Bilateral ini lantas dihasilkan sebuah ikatan yang
mana memungkinkan manusia mendapatkan
apabila apa yang dijadikan perjanjian tidak dapat ditepati, sebagaimana
dalam QS 17:34 dan QS.33:15. Convenant ini juga berlaku antar sesame
manusia yang mana secara implisit mengajarkan apa yang menjadi kewajiban
manusia ketika telah sanggu melakukan perjanjian secara khusus kepada antar
sesama.
3.
Pendekatan dan
Metodologi
Pendekatan yang dilakukan oleh Wansbrough lebih
jauh ungkap Rippin adalah skeptisisme, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan
mengenai ketidakpercayaan atas sumber-sumber Islam. Pandangan ini sama dengan
John Burton yang memandang bahwa ada kontradiksi dalam sumber muslim tentang
pengumpulan al-Qur’an. Namun demikian pandangan seperti ini berbeda dengan
pandangan yang telah berkembang jauh di Barat dan keyakinan muslim. Pendekatan
histories dalam keislaman menimbulkan nilai yang berbeda tergantung bidang apa
yang dikaji. Metode ini memiliki kelemahan di mana menampakkan sisi luar dari
fenomena keagamaan yang dikaji dan tidak mampu mengungkapkan makna yang essensial
dan substansial. Kekurangan tersebut sering juga didukung oleh ketidaktersediaannya
sumber kajian yang lengkap dan sumber yang salah.
Adapun metode literary analysis
diterapkan John Wansbrough dalam menganalisis cerita-cerita yang diungkapkan
dalam al-Qur’an. Menurutnya, adanya perbedaan cerita dalam al-Qur’an menunjukkan
adanya perpaduan tradisi di dalamnya.[6]
Dari beberapa pendekataan di atas, kiranya John Wansbrough telah melakukan
berbagai metode studi al-Qur’an yang telah banyak digunakan oleh para
Orientalis atau Islamolog Barat, baik sebelum maupun sesudahnya yang secara
ringkas dinyatakan oleh Azim Naji sebagai berikut:
1.
Metode Filologisme
2.
Metode-Pendekatan Historisisme
3.
Pendekatan Fenomenologi
4.
Pendekatan Historisme-Fenomenologis
5.
Dari pendekatan Objektif hingga Hermeneutika
D.
SIKAP DAN PENUTUP
1.
Analisis dan Kritik
Dari
paparan diatas dapat kita ketahui bahwa John Wansbrough melalui teks Al-Quran,
telah berhasil membuktikan bahwa Muhammad dengan Alquran dan Islam yang
dibawanya adalah suatu duplikasi nyata. Secara umum
karya John Wansbrough memberikan kritik yang tajam atas kenabian Muhammad dan
al-Qur’an. Kenabiannya dianggap sebagai imitasi (tiruan) dari kenabian nabi
Musa as. yang dikembangkan secara teologis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Arab. Al-Qur’an, menurut John Wansbrough bukan merupakan sumber biografis
Muhammad, melainkan sebagai konsep yang disusun sebagai teologi Islam tentang
kenabian. Oleh karena itu, pemikiran yang dilontarkan John Wansbrough banyak
berseberangan dengan pemikir lainnya baik di kalangan orientalis Barat maupun
pemikir muslim.
John Wansbrough berpandangan bahwa al-Qur’an bukanlah sumber sejarah yang
otoritatif, dan tidak cukup menjadi bukti dalam mengungkap sumber dan asal-usul
geneologisnya sendiri. Skeptisisme Wansbrough ini terutama disebabkan
oleh sangat sedikitnya bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian untuk
mengkaji Islam pada masa awal.
Menurut saya, sangat banyak para orientalis
yang mengemukakan berbagai macam pemikirannya, misalnya Alqur’an yang telah
mereka kaji sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda tidak saja
dengan kalangan kaum muslimin, bahkan di kalangan mereka sendiri. Berbagai cara
pula sarjana muslim menepisnya. Hanya saja keecurigaan umat Islam akan
dipandang berlebihan apabila mereka bersiakap apriori terhadap setiap karya
atau pandangan orientalis tentang al-Qur’an, tanpa memahami dan menganalisisnya
secara kritis dan teliti. saya harus menanggapi mereka dengan dalam kerangka
akademis dan tidak emosional.
Saya memberikan kritik terhadap tesis
Wansbrough bahwa Al-Qur’an merupakan perpaduan berbagai tradisi yang berbeda.
Saya menilai bahwa Wansbrough belum sepenuhnya memahami fenomena substitusi
ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lainnya. Fenomena ini diakui sendiri oleh
Al-Qur’an dan dinamakan naskh yang berarti substitusi atau penghapusan. Untuk
menjadi substitusi harus ada ayat baru sebagai pengganti ayat yang lama. Inilah
sebuah keharusan kronologis yang sulit dipertahankan bila Al-Qur’an hanya
merupakan perpaduan serentak dari berbagai tradisi. Saya juga menilai bahwa
Wansbrough kurang memiliki data-data historis mengenai asal-usul, sifat atau
karakter, evaluasi dan person-person yang terlibat dalam apa yang dia sebut
sebagai tradisi-tradisi tersebut. Sejumlah persoalan penting dalam Al-Qur’an,
menurut saya, hanya dapat dipahami dalam terma-terma kronologis yang terbentang
dalam suatu dokumen yang tunggal. Al-Qur’an tidak dapat dipahami sebagai sebuah
perpaduan unsur-unsur yang berbeda dan bertentangan. Dengan demikian, tesis
Wansbrough yang didasarkan pada adanya repetisi dan duplikasi dalam Al-Qur’an
tidaklah tepat, karena hal tersebut lebih mencerminkan perkembangan tema atau
misi kenabian Muhammad dalam tahapan-tahapan kronologisnya.
Sebuah Charghond untuk menanggapi Orientalis
“Sikap skeptik a priori, no! sikap kritis, yes!
Wallahu ‘alamu bi al-shawab”
DAFTAR PUSTAKA
Buchari, Mannan. Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta:
AMZAH, 2006.
Said, Edward W. Orientalisme. Bandung: Pustaka.1985
Zaqzuq, Mahmud Hamdy, Orientalisme & Latar Belakang
Pemikirannya. Bangil: Persatuan, 1984.
Refrensi
Website: