Selasa, 06 Desember 2016

KOTA MADINAH



A.    PENDAHULUAN
Ketika rasulullah hijrah ke madinah maka dari sinilah dimulai proses pembentukan peradaban islam. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin mulai menebarkan ajaranya keseantero jagat raya. Karena pada dasarnya agama ini bukan hanya berisi rutinitas ibadah di masjid saja akan tetapi menyangkut berbagai aspek kehidupan.
Selanjutnya islam di Madinah akan berbicara tentang sistem pemerintahan yang islami, penyelenggaraan negara dan kehidupan rakyat yang islami. Maka disinilah islam menyemai peradaban kepada umatnya menggantikan peradaban jahiliah. Di madinah dakwah rasul mendapat sambutan yang sangat meriah berbeda dengan apa yang dialamanya di mekkah, maka tidak heran bila para ahli sejarah menjadikan tonggak sejarah hijrah sebagai “Renaissance” ala islam.
Peradaban islam madinah zaman rasul menandai dimulainya suatu sistem tatanan kehidupan yang terintregasi pada islam sebagai sumber kehidupan. Peradaban madinah inilah yang menjadi pondasi peradaban islam selanjutnya. Umat islam madinah kala itu sudah mulai berbicara tentang pemerintahan yang islami, muamalah yang islami. Bahkan umat islam madinah sudah berani untuk mejadikan negera sekitar “berperadaban islam”. Maka ekspansi militer dari zaman rasul ini sudah mulai dijalankan. Rasulullah telah mengajarkan bagaimana seharusnya Islam diamalkan oleh umat muslim.















B.     MAKNA DAN ETIMOLOGI MADINAH
Madinah atau Madinah Al Munawwarah: مدينة رسول الله  atau المدينه, (juga Madinat Rasul Allah, Madīnah an-Nabī) adalah kota utama di Arab Saudi.[1] Merupakan kota yang ramai diziarahi atau dikunjungi oleh kaum Muslimin. Di sana terdapat Masjid Nabawi yang memiliki pahala dan keutamaan bagi kaum Muslimin. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, kota ini menjadi pusat dakwah, pengajaran dan pemerintahan Islam. Dari kota ini Islam menyebar ke seluruh jazirah Arabia lalu ke seluruh dunia. Secara etimologi, kata Madinah merupakan kata benda yang menunjukkan tempat yang artinya tempat yang ditempati dan dibangun peradaban diatasnya.[2]
Pada masa sebelum Islam berkembang, kota Madinah bernama Yatsrib. Kata Yatsrib berasal dari kata Tamaddun yang berarti peradaban.[3] Maksudnya kota atau Negara yang mencita-citakan tatanan masyarakat yang berperadaban. Dan untuk mewujudkannya, Nabi Muhammad mengembangkan konsep ukhuwah Madaniyah yakni komitmen bersama untuk hidup dalam sebuah kota atau negeri yang berperadaban. Kemudian ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah, kota ini diganti namanya menjadi Madinah sebagai pusat perkembangan Islam sampai beliau wafat dan dimakamkan di sana.

C.    MADINAH SEBELUM KEDATANGAN RASUL
Sebelum kedatangan islam ke Madinah, masyarakat Madinah menganut agama Yahudi dan Nasrani. Adapula sebagian dari penduduk madinah yang beragama pagan, yaitu kepercayaan kepada benda dan kekuatan alam seperti matahari, bintang, dan bulan. Para penganut agama ini berkeyakinan bahwa mereka adalah manusia pilihan dan agama yang dianutnya adalah yang paling benar. Keadaan ini mengakibatkan perselisihan antar agama yang berlangsung hingga islam masuk ke kota ini.
Letak kota Madinah sangat strategis, yaitu dalam jalur perdagangan yang menghubungkan Yaman di selatan dan Syiria di utara. Tempat ini juga merupakan daerah yang subur dan menjadi pusat pertanian di Jazirah Arab. Oleh sebab itu, masyarakatnya banyak yang bercocok tanam. Walaupun demikian, ada juga sebagian masyarakat yang berdagang dan berternak. Karena kondisi alam yang seperti itu, sebagian besar penduduk Madinah adalah pendatang yang datang dari wilayah utara dan selatan.
Masyarakat Madinah terdiri dari dua kelompok besar, yaitu kelompok Yahudi dan kelompok Arab. Kelompok masyarakat yahudi terdiri dari tiga kelompok utama, yaitu bani Qainuqa, bani Quraizah, dan bani Nadir. Sementara itu, kelompok masyarakat arab terdiri dari dua suku utama, yaitu suku ‘Aus dan Khazraj. Kehidupan dua kelompok masyarakat ini tidak begitu harmonis. Mereka sering bertikai. Biasanya masalah itu muncul karena perebutan daerah kekuasaan.

D.   KONSEP NEGARA MADINAH
Kota Madinah memiliki konsep Negara, antara lain sebagai berikut:[4]
1.      Sistem Pemerintahan Madinah
a.       Mengamalkan pemerintahan demokrasi melalui konsep syura dan musyawarah.
b.      Pemerintah tertinggi ialah Rasulullah (zaman nabi Muhammad s.a.w) dan Khalifah (pada zaman Khulafa’ ar Rasyidin).
c.       Badan pemerintah tertinggi ialah majlis syura (ditubuhkan secara rasmi semasa zaman Umar al-Khattab).
d.      Sistem perundangan dikuat kuasakan melalui penggubalan Sahifah Madinah.
e.       Sistem pemerintahan Negara Madinah secara keseluruhan dengan konstitusinya menganut paham Desentralisasi. Masalah intern kelompok diselesaikan oleh kelompok masing-masing, kecuali menyangkut masalah yang berhubungan dengan kelompok lain.
2.      Bentuk Pentadbiran (Majlis Syura)
a.       Terdiri dari pada semua umat Islam dan sahabat rasulullah.
b.      Tidak ada tempo persidangan tetapi mengikut kepentingan Negara dan situasi politik.
c.       Semua rakyat bebas mengemukakan ide dan pandangan untuk kemajuan Negara (kecuali bidang agama).
d.      Khalifah Umar al Khattab telah mengemaskinikan majlis syura dengan mewujudkan dua jenis majlis syura yaitu Majlis Syura Tertinggi dan Majlis Syura Am.
3.      Sumber Perundangan (Piagam Madinah)
a.       Digubal pada satu dan dua Hijrah yang merupakan sumber perundangan di Madinah.
b.      Perlembagaan bertulis yang pertama didunia juga dikenali Sahifah Madinah atau Perlembagaan Madinah.
c.       Mengandungi 47 pasal berkaitan tanggungjawab orang Islam dan Yahudi.
d.      Hukuman berdasarkan Al Quran yaitu hudud, qisas dan takzir.
e.       Pada zaman Umar al Khattab, jabatan kehakiman dipisahkan dari jabatan-jabatan lain dan membentuk mahkamah kadi-kadi khas bagi menguruskan perbicaraan dan peraturan-peraturan kehakiman yang tertentu.
Piagam Madinah itu juga mengandung prinsip kebebasan beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup, dan sebagainya. Inisiatif dan usaha Muhammad dalam mengorganisir dan mempersatukan pengikutnya dan golongan lain, menjadi suatu masyarakat yang teratur, berdiri sendiri, dan berdaulat yang akhirnya menjadi suatu negara di bawah pimpinan Nabi sendiri merupakan praktek siyasah, yakni proses dan tujuan untuk mencapai tujuan.

E.     ASPEK PERADABAN MASA RASUL DI MADINAH
Setelah hirah ke Yathrib, maka kota tersebut dijadikan pusat jama’ah kaum muslimin, dan selanjutnya menjadi ibu kota negara islam yang segera didirikan oleh nabi, dengan dirubah namanaya menjadi Madinah. Di Kota ini nabi mulai
1.    Pembangunan Masjid
Di tengah kota madinah , segera Nabi membangun  masjid, yang menjadi pusat ibadah dan kebudayaan , bahkan dijadikan markaz besar negara islam. Dr. Sa’id ramadhan Al-buty menyatakan bahwa pembanguna masjid ini menjadi sangat penting karena diantara ajaran dan adab-adab yang diajarkan islam adalah rasa persaudaraan dan kecintaan diantara orang-orang muslim. Tetapi hal ini tidak akan terjadi kecuali mereka berada di dalam masjid, ketika mereka bertemu berkali-kali setiap harinya di masjid, maka kesenjangan jabatan, harta, dan kedudukan akan gugur dengan sendirinya.[5]
Dengan pembanguna masjid ini, juga telah menumbuhkan ruh keseteraan dan keadilan diantara kaum muslim, walaupun keadaan mereka berbeda-beda, hal ini terealisasi ketika mereka bertemu di Masjid dan berada pada satu saf menghadap keharibaan Allah. Hal ini tidak akan terjadi apabila mereka berpaling dari masjid dan shalat dirumah mereka masing-masing dengan tanpa menunjukkan kebersamaan dan persatuan dalam ibadah.[6]
2.    Mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar
Kemudian Rasulullah mempersaudarakan kaum muhajirin dan Anshar, mereka dipersaudarakan atas dasar kesederajatan dan keadilan, dan juga untuk saling mewarisi harta ketika mereka telah mati, yang menandakan ukhuwah islamiyah dalam hal itu ialah lebih kuat dari tali persaudaraan.[7]
Nabi mempersaudarakan antara Ja’far bin abi thalib  dengan Muadz bin Jabal, Hamzah bin Abdul Mutallib dengan Zaid Bin Harithah, Abu Bakar As- Siddiq dengan Kharijah bin Zubair, Umar Bin Khattab dengan Itban bin Malik, Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Rabi’, dan seterusnya.[8]
Inilah dasar kedua yang dijadikan oleh Rasulullah Saw. Dalam membangun masyarakat sekaligus negara Islam di Madinah. Posisi penting kedua ini dapat kita lihat dalam beberapa poin dibawah ini:
Pertama, negara manapun yang ada dimuka bumi tidak akan berdiri tegak kecuali atas persatuan dan kesatuan warganya. Padahal persatuan dan kesatuan tidak akan terwujud jika tidak ada ikatan persaudaraan dan rasa kasih sayang yang kuat. Sebuah komunitas yang tidak diikat oleh tali persaudaraan yang tulus, pasti tidak akan mampu menyatukan pandangan dengan baik. Dan ketika sebuah komunitas atau bangsa tidak memiliki sebuah pengikat yang baik, merekapun tidak akan pernah bisa membangun sebuah negara yang kuat.[9]  
Kedua, Rasulullah menjadikan nilai perdaudaraan yang beliau sematkan di kalangan Muhajirin Dan Anshar, sebagai landasan penerapan prinsip-prinsip keadilan sosial, untuk kemudain diterapkan pada sebuah masyarakat yang diakui sebagai masyarakat paling teratur di muka bumi.[10]
Secara bertahap, prinsip keadilan bagi masyarakat Madinah, menjadi aturan hukum dan syari’at yang berlaku bagi semua golongan . dan kesemuanya itu dibangun atas landasan pokok yang peertama, yaitu persaudaraan islam (ukhuwwah islamiyah). Jika bukan karena persaudaraan agung yang dibangun diatas landasan akidah islam ini, tentu semua prinsip luhur itu tidak akan memberi pengaruh positif bagi umat islam.[11]
Ketiga, makna interpretatif  dibalik syiar persaudaraan. prinsip persaudaraan yang dibangun Rasulullah saw. dikalangan sahabat tentu saja bukan hanya retorika kosong yang disampaikan dari mulut ke mulut, melainkan dipratikkan disemua lini kehidupan masyarakat Muhajirin dan Anshar.[12]




























F.     KESIMPULAN
Selama kurang lebih 13 tahun di Mekah, Nabi Muhammad dan umat Islam belum mempunyai kekuatan dan kesatuan politik yang menguasai suatu wilayah. Umat Islam menjadi satu komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M hijrah ke Madinah yang sebelumnya disebut Yatsrib. Jika di Mekah mereka sebelumnya merupakan umat lemah yang tertindas, maka di Madinah mereka mempunyai kedudukan yang baik, kuat, dan dapat berdiri sendiri.
Komunitas Islam itu terdiri dari para pengikut Nabi yang datang dari Mekah (Muhajirin) dan penduduk Madinah yang telah memeluk Islam serta yang telah mengundang Nabi ke Madinah (Anshar). Di antara penduduk Madinah terdapat juga komunitas lain, yaitu orang Yahudi dan sisa-sisa orang Arab yang belum memeluk Islam. Umat Islam di Madinah merupakan bagian dari masyarakat yang majemuk.
Tidak lama sesudah hijrah ke Madinah, Muhammad saw membuat suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama. Ia memandang perlu meletakkan aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah agar terbentuk kesatuan hidup di antara seluruh penduduknya. Dalam piagam itu dirumuskan prinsip-prinsip dan dasar-dasar tata kehidupan bermasyarakat, kelompok-kelompok sosial Madinah, jaminan hak, dan ketetapan kewajiban. Piagam Madinah itu juga mengandung prinsip kebebasan beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup, dan sebagainya. Insiatif dan usaha Muhammad dalam mengorganisir dan mempersatukan pengikutnya dan golongan lain, menjadi suatu masyarakat yang teratur, berdiri sendiri, dan berdaulat yang akhirnya menjadi suatu negara di bawah pimpinan Nabi sendiri merupakan praktek siyasah, yakni proses dan tujuan untuk mencapai tujuan.











DAFTAR PUSTAKA

bin Ishaq, Muhammad bin Yassar.  Sirah Ibnu Ishaq “terj” Dewi candraningrum.
surakarta: Muhammadiyah University press. 2002.
Ramadhan Al-Buty, Mohammad Sa’id.  fiqhu As-sirah Al-nabawiyah. Cairo: Dar
As-Salam. 1999.
Ramadhan Al-buthy, Sa’id. Fiqh sirah nabawiyah “terj” Fuad Syaifuddin Nur. Jakarta: Hikmah. 2010.
Shiraj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial: mengedepankan Islam sebagai inspirasi.  Ebook. Jakarta: Mizar Store.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2008.

Website:



[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 64.
[2] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam Madinah, (Jakarta: Tazkia
Publishing, 2012), 5.
[3] Said Aqil Shiraj, “Tasawuf sebagai Kritik Sosial: mengedepankan Islam
sebagai inspirasi” Ebook, (Jakarta: Mizar Store), 51.
[4] Solihat, “Konsep - konsep Negara Madinah,” dalam
[5] Mohammad Sa’id Ramadhan Al-Buty, fiqhu As-sirah Al-nabawiyah, (Cairo: Dar
As-Salam,1999),144.
[6] Al-Buty, fiqhu As-sirah Al-nabawiyah, 144.
[7] Al-Buty, fiqhu As-sirah Al-nabawiyah, 147.
[8] Muhammad bin Yassar bin Ishaq, Sirah Ibnu Ishaq “terj” Dewi candraningrum (
surakarta: Muhammadiyah University press, 2002)
[9] Sa’id Ramadhan Al-buthy, Fiqh sirah nabawiyah “terj” Fuad Syaifuddin Nur
(Jakarta: Hikmah,2010), 232.
[10] Ibid.,  233.
[11] Al-buthy, Fiqh sirah nabawiyah, 234.
[12] Al-buthy, Fiqh sirah nabawiyah, 234.