Ø Teori Konsep kota menurut Ibnu
Khaldun terkait dengan penggunaan pendekatan teori antropologi (kebudayaan primitif
menjadi peradaban) dan sosiologi (Urbanisasi).
Nama
lengkap Ibnu Khaldun adalah Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin bin Khaldun. Nama
kecilnya Abdurrahman. Nama panggilnya Abu Zaid, gelarnya Waliuddin, dan nama
populernya Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun dikenal dengan Ibnu Khaldun karena
dihubungkan dengan garis keturunan kepada kakeknya yang kesembilan, yaitu
Khalid bin Utsman, dan dia adalah orang pertama dari marga ini yang memasuki
negeri Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab.
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332 (1 Ramadhan 732) dan
wafat pada tanggal 19 Maret 1406 saat
itu berusia 73 tahun.
Jika kita berbicara tentang seorang cendekiawan
yang satu ini, memang cukup unik dan mengagumkan. Sebenarnya, dialah yang patut
dikatakan sebagai pendiri ilmu sosial. Sehingga beliau juga mendapat julukan
sebagai bapak sosiologi. Beliau adalah
pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan baru pada
zamannya. Tidak heran ide-idenya tentang masyarakat Arab seperti yang tertuang
dalam buku fenomenalnya “muqaddimah” dianggap sebagai bibit dari kelahiran Ilmu
Sosiologi.
Ibnu Khaldun telah menjelaskan
dalam bukunya yang berjudul Muqoddimah, menyatakan bahwa sebuah kemajuan kota
dapat dilihat dari kemewahan dan kemakmuran. beliau menyebutnya hadharah yang
berarti masyarakat berperadaban, sudah mengenal teknologi, sudah menetap, sudah
bisa bercocok tanam, berusaha mencukupi kebutuhan masing-masing tanpa
menghiraukan orang lain. Kemajuan sebuah kota muncul setelah adanya kemunculan
badawah yaitu masyarakat badawi, masyarakat yang belum menetap nomaden,
terbelakang, belum mengenal teknologi. Sebuah kota dibangun atas sebuah
kedaulatan yang kuat yang dapat mendirikan kota besar dengan monumen yang besar
pula. Ibnu Khaldun mempertegas bahwa sebuah kota dapat didirikan atas dasar
sebuah kedaulatan. Semangat kedaulatan ini merupakan cermin dari teori khaldun
yang dikenal dalam ilmu sosiologi dengan teori solidaritas, atau ashabiyah
(rasa persatuan dan solidaritas yang tinggi).
Manusia
bersifat madaniyah (politis, sipil) menurut tabiatnya, karenanya ia
membutuhkan organisasi sosial. Perbedaan organisasi sosial manusia adalah
akibat perbedaan cara memperoleh penghidupan (ekonomi). Perbedaan cara
memperoleh penghidupan berkembang seturut waktu (berubah). Sehingga organisasi
sosial manusia (masyarakat) berbeda-beda dan mengalami perubahan. Masyarakat
nomadik (badawah, badui, pengembara, rural, desa) adalah
organisasi sosial awal. Mereka mencukupkan diri menurut kebutuhan primer
mereka. Jika kebutuhan mendasar ini terpenuhi barulah mereka mencari kemewahan,
hidup enak. Kemudian berlangsunglah urbanisasi (tamadun), pengkotaan.
Secara etis golongan pengembara lebih berani, lebih baik dibandingkan penduduk
kota. Kondisi sosial perkotaan membentuk kecenderungan untuk bertindak korup.
Dari sisi etis, proses urbanisasi adalah degradatif.
Konsep kunci
yang diajukan Ibnu Khaldun untuk memahami proses perubahan masyarakat adalah ashabiah
(solidaritas sosial atau kohesi sosial). Solidaritas
sosial (ashabiah) ini menyatukan orang untuk meraih tujuan yang sama, juga
untuk mengendalikan masyarakat. Ashabiah terbentuk pada awalnya dari pertalian
darah. Tetapi ia juga terbentuk dari perserikatan, persekutuan dan kesetian
sosial. Tujuan ashabiah pada akhirnya adalah tercapainya kedaulatan
(al mulk, otoritas politik). Sebuah kedaulatan dijaga
tegaknya oleh ashabiah. Setelah kedaulatan dicapai, ashabiah bisa ditinggalkan,
karena kedaulatan politik kemudian menjadi sesuatu yang given bagi
masyarakat kemudian.
Kemenangan pada
perbenturan antar golongan bergantung solidaritas sosial, ashabiah. Golongan
yang ditaklukkan cenderung meniru budaya para penakluk.
Masyarakat pengembara, badui dapat mencapai kedaulatan hanya melalui agama. Agama berfungsi
untuk menundukkan karakter psikologi badawah (nafsu, irihati, kebrigasan,
kekerasan, dsb). Tetapi dakwah keagamaan juga membutuhkan
solidaritas sosial untuk berhasil.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun diatas
beliau mempunyai 2 alasan untuk mendirikan sebuah kota, antara lain sebagai
berikut:
1.
Adanya kekuasaan
kerajaan atau pemerintah yang mendorong masyarakat untuk mencari kedamaian, ketentraman
untuk hidup.
2. Untuk
mempertahankan diri, dinasti dan peradaban yang sudah ada.
Ibnu
Khaldun menjelaskan bahwa semakin modern suatu masyarakat, semakin melemahnya
nilai ashabiyah atau solidaritas. Integrasi sosial yang rendah mengakibatkan
kontrol sosial yang rendah pula. Sebaliknya, integrasi sosial yang tinggi akan
membuahkan kontrol sosial yang tinggi pula. Ibnu Khaldun mengemukakan suatu
observasi yang menarik yang sesuai dengan teori sosiologi modern mengenai
pembagian kerja dan diferensiasi sosial. Ia mengatakan bahwa masyarakat yang
belum mencapai suatu kematangan dalam urbanisme dimana kota-kotanya belum
berkembang, cenderung memusatkan diri pada usaha untuk mencukupi kebutuhan
pangan pokok. Setelah tahap ini terlampaui, dan kota-kota mereka kian maju,
serta sejumlah bidang pekerjaan mulai muncul, maka pelan-pelan mereka akan
mulai memanfaatkan surplus kekayaan yang ada untuk hal-hal yang bersifat
kemewahan hidup.
Dari
sinilah bisa terlihat bahwa konsep Ibnu Khaldun sangat berkaitan dengan
Urbanisasi. Masyarakat semakin berkembang bahkan semakin maju. Oleh sebab itu,
masyarakat memilih untuk berpindah ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih
maju. Mereka datang ke kota memiliki berbagai tujuan diantaranya ingin
memperoleh pendidikan yang lebih maju, memperbaiki taraf hidup, selain itu di kota juga banyak peluang
kerja yang lebih luas. sehingga pada akhirnya para urban atau kumpulan
urban membentuk sebuah kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar