Selasa, 06 Desember 2016

KONSEP KOTA IBNU KHALDUN



Ø  Teori Konsep kota menurut Ibnu Khaldun terkait dengan penggunaan pendekatan teori antropologi (kebudayaan primitif menjadi peradaban) dan sosiologi (Urbanisasi).

Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin bin Khaldun. Nama kecilnya Abdurrahman. Nama panggilnya Abu Zaid, gelarnya Waliuddin, dan nama populernya Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun dikenal dengan Ibnu Khaldun karena dihubungkan dengan garis keturunan kepada kakeknya yang kesembilan, yaitu Khalid bin Utsman, dan dia adalah orang pertama dari marga ini yang memasuki negeri Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab. Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332 (1 Ramadhan 732) dan wafat pada tanggal 19 Maret 1406 saat itu berusia 73 tahun.
Jika kita berbicara tentang seorang cendekiawan yang satu ini, memang cukup unik dan mengagumkan. Sebenarnya, dialah yang patut dikatakan sebagai pendiri ilmu sosial. Sehingga beliau juga mendapat julukan sebagai bapak sosiologi. Beliau adalah pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan baru pada zamannya. Tidak heran ide-idenya tentang masyarakat Arab seperti yang tertuang dalam buku fenomenalnya “muqaddimah” dianggap sebagai bibit dari kelahiran Ilmu Sosiologi.
Ibnu Khaldun telah menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Muqoddimah, menyatakan bahwa sebuah kemajuan kota dapat dilihat dari kemewahan dan kemakmuran. beliau menyebutnya hadharah yang berarti masyarakat berperadaban, sudah mengenal teknologi, sudah menetap, sudah bisa bercocok tanam, berusaha mencukupi kebutuhan masing-masing tanpa menghiraukan orang lain. Kemajuan sebuah kota muncul setelah adanya kemunculan badawah yaitu masyarakat badawi, masyarakat yang belum menetap nomaden, terbelakang, belum mengenal teknologi. Sebuah kota dibangun atas sebuah kedaulatan yang kuat yang dapat mendirikan kota besar dengan monumen yang besar pula. Ibnu Khaldun mempertegas bahwa sebuah kota dapat didirikan atas dasar sebuah kedaulatan. Semangat kedaulatan ini merupakan cermin dari teori khaldun yang dikenal dalam ilmu sosiologi dengan teori solidaritas, atau ashabiyah (rasa persatuan dan solidaritas yang tinggi).
Manusia bersifat madaniyah (politis, sipil) menurut tabiatnya, karenanya ia membutuhkan organisasi sosial. Perbedaan organisasi sosial manusia adalah akibat perbedaan cara memperoleh penghidupan (ekonomi). Perbedaan cara memperoleh penghidupan berkembang seturut waktu (berubah). Sehingga organisasi sosial manusia (masyarakat) berbeda-beda dan mengalami perubahan. Masyarakat nomadik (badawah, badui, pengembara, rural, desa) adalah organisasi sosial awal. Mereka mencukupkan diri menurut kebutuhan primer mereka. Jika kebutuhan mendasar ini terpenuhi barulah mereka mencari kemewahan, hidup enak. Kemudian berlangsunglah urbanisasi (tamadun), pengkotaan. Secara etis golongan pengembara lebih berani, lebih baik dibandingkan penduduk kota. Kondisi sosial perkotaan membentuk kecenderungan untuk bertindak korup. Dari sisi etis, proses urbanisasi adalah degradatif.
Konsep kunci yang diajukan Ibnu Khaldun untuk memahami proses perubahan masyarakat adalah ashabiah (solidaritas sosial atau kohesi sosial). Solidaritas sosial (ashabiah) ini menyatukan orang untuk meraih tujuan yang sama, juga untuk mengendalikan masyarakat. Ashabiah terbentuk pada awalnya dari pertalian darah. Tetapi ia juga terbentuk dari perserikatan, persekutuan dan kesetian sosial. Tujuan ashabiah pada akhirnya adalah tercapainya kedaulatan (al mulk, otoritas politik). Sebuah kedaulatan dijaga tegaknya oleh ashabiah. Setelah kedaulatan dicapai, ashabiah bisa ditinggalkan, karena kedaulatan politik kemudian menjadi sesuatu yang given bagi masyarakat kemudian.
Kemenangan pada perbenturan antar golongan bergantung solidaritas sosial, ashabiah. Golongan yang ditaklukkan cenderung meniru budaya para penakluk. Masyarakat pengembara, badui dapat mencapai kedaulatan hanya melalui agama. Agama berfungsi untuk menundukkan karakter psikologi badawah (nafsu, irihati, kebrigasan, kekerasan, dsb). Tetapi dakwah keagamaan juga membutuhkan solidaritas sosial untuk berhasil.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun diatas beliau mempunyai 2 alasan untuk mendirikan sebuah kota, antara lain sebagai berikut:
1.      Adanya kekuasaan kerajaan atau pemerintah yang mendorong masyarakat untuk mencari kedamaian, ketentraman untuk hidup.
2.      Untuk mempertahankan diri, dinasti dan peradaban yang sudah ada.
Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa semakin modern suatu masyarakat, semakin melemahnya nilai ashabiyah atau solidaritas. Integrasi sosial yang rendah mengakibatkan kontrol sosial yang rendah pula. Sebaliknya, integrasi sosial yang tinggi akan membuahkan kontrol sosial yang tinggi pula. Ibnu Khaldun mengemukakan suatu observasi yang menarik yang sesuai dengan teori sosiologi modern mengenai pembagian kerja dan diferensiasi sosial. Ia mengatakan bahwa masyarakat yang belum mencapai suatu kematangan dalam urbanisme dimana kota-kotanya belum berkembang, cenderung memusatkan diri pada usaha untuk mencukupi kebutuhan pangan pokok. Setelah tahap ini terlampaui, dan kota-kota mereka kian maju, serta sejumlah bidang pekerjaan mulai muncul, maka pelan-pelan mereka akan mulai memanfaatkan surplus kekayaan yang ada untuk hal-hal yang bersifat kemewahan hidup.
Dari sinilah bisa terlihat bahwa konsep Ibnu Khaldun sangat berkaitan dengan Urbanisasi. Masyarakat semakin berkembang bahkan semakin maju. Oleh sebab itu, masyarakat memilih untuk berpindah ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih maju. Mereka datang ke kota memiliki berbagai tujuan diantaranya ingin memperoleh pendidikan yang lebih maju, memperbaiki taraf  hidup, selain itu di kota juga banyak peluang kerja yang lebih luas. sehingga pada akhirnya para urban atau kumpulan urban  membentuk sebuah kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar