A.
PENDAHULUAN
Modernisasi
merupakan suatu proses yang mengandung banyak segi yang mencakup
perubahan-perubahan dalam semua kawasan pemikiran dan kegiatan manusia.
Modernisasi menyebabkan adopsi politik, hukum dan pendidikan Barat.
Sekularisasi merupakan tantangan yang memperkecil peranan agama, tetapi tidak
dapat dihindari. Sekularisme mencakup concern terhadap dunia material
daripada kepentingan abadi dan spiritual. Suatu cara berfikir sekular cenderung
menemukan penjelasan tertinggi segala sesuatu dan tujuan akhir umat manusia di
dalam batas yang tidak dapat diindera dan ditemukan. Bagi abad pertengahan,
sasaran utama terletak pada dunia nanti, pada kehidupan setelah mati. Sedangkan
dalam masyarakat sekular, perhatian tertuju pada disini dan kini, biasanya
terarah pada penguasaan benda-benda material.
Sekularisme
atau sekularisasi dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah
ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah
dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan
kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang
netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama
tertentu. Sekularisme juga merujuk kepada anggapan bahwa aktivitas dan
penentuan manusia, terutamanya yang politis, harus didasarkan pada apa yang
dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh
keagamaan. Dalam makalah ini akan dibahas lebih jelas mengenai pengertian
Sekularisme, Sekularisasi dan pandangan Sekularisme.
B.
PENGERTIAN SEKULARISME DAN SEKULARISASI
Secara
kebahasaan, istilah sekularisasi dan sekularisme berasal dari kata latin saeculum
yang berarti sekaligus ruang dan waktu.[1]
Ruang menunjuk pada pengertian duniawi, sedangkan waktu menunjuk pengertian
sekarang atau zaman kini. Sehingga saeculum berarti dunia ini, dan
sekaligus sekarang, masa kini, atau zaman kini.
Lembaga-lembaga
ilmu pengetahuan Britania menyebutkan bahwa kata Secularism adalah
sebuah gerakan sosial yang bertujuan mengalihkan perhatian manusia dari
masalah-masalah duniawi semata. Hal itu disebabkan pada abad-abad pertengahan,
muncul sebuah keinginan yang sangat besar dikalangan masyarakat untuk
meninggalkan (benci) kehidupan duniawi dan mereka hanya memikirkan tentang
Allah dan hari akhir.[2]
Didalam kamus Al-‘alam
Al-Jadid, Loubster menyebutkan penjelasan terhadap masalah ini seperti
berikut:
1.
Semangat
keduniawian atau orientasi keduniawian maupun istilah lain yang secara khusus
sepadan dengan istilah tersebut adalah sebuah sistem diantara prinsip dan
praktis yang menolak bentuk apapun dari agama dan ibadah
2.
Adanya
keyakinan bahwa sesungguhnya agama dan urusan-urusan gereja, pada dasarnya
tidak boleh masuk kedalam urusan negara. Khususnya dibidang pendidikan umum.
Sementara itu,
kamus oxford menyebutkan penjelasan kata Secular sebagai berikut:[3]
1.
Bersifat
Duniawi, materi, dan tidak dapat bersifat agama dan spiritual, seperti:
pendidikan non agama, diantaranya seni, musik non-religi, pemerintahan tidak
agama, pemerintahan yang bertentangan dengan gereja.
2.
Pendapat
bahwa sesungguhnya mesti tidak agama itu menjadi dasar bagi akhlak dan
pendidikan.
Barry Kosmin membagi sekularisme mutakhir menjadi dua jenis,
sekularisme keras dan ekularisme lunak.
Menurutnya, “Sekularisme keras menganggap pernyataan keagamaan tidak mempunyai
legitimasi secara epistemologi dan tidak dijamin baik oleh akal maupun
pengalaman.” Namun, dalam pandangan sekularisme lunak, ditegaskan bahwa “pencapaian
kebenaran mutlak adalah mustahil dan oleh karena itu, toleransi dan skeptisme
yang sehat bahkan agnostisisme harus menjadi prinsip dan nilai yang dijunjung
dalam diskusi antara ilmu pengetahuan dan agama.”
Definisi yang diberikan Holyoake bahwa sekularisme adalah suatu
sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama
wahyu atau supranaturalis tersebut dapat ditafsirkan secara lebih luas, bahwa
sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama, dan kebebasan dari pemaksaan
kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah
kepercayaan, serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu. Artinya,
perdebatan mengenai sekularisme tidak lagi menyentuh label dan kemasan, tapi
menyentuh isi dan substansi.
Selanjutnya mengenai pengertian sekularisasi. Menurut Davis
menganggap sekularisasi sudah merupakan satu takdir dalam masyarakat modern.[4]
Masyarakat industri modern didasarkan pada rasionalisasi dan bertujuan untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi terus menerus. Sekularisasi yang mengancam eksitensi
agama bermakna ganda Entgollerung (runtuhnya agama) dan Die
entzauberung der welt (hilangnya magis dari dunia), yang menurut Weber,
gejalanya yaitu:
1.
Masyarakat
mengalihkan perhatiannya dari usaha-usaha agama other wordly. Kepada
dunia ini dan menginvestasikan dunia ini dengan signifikansi positif yang baru.
2.
Masyarakat
dengan sendirinya terbebas dari taman magis arkaik dan menghilangkan ke kudusan
(desanctify) dunia, untuk kemudian dimanioulasi menjadi cara yang tidak
berkhayal.
3.
Sebagai
hasil dari pertumbuhan kekayaan dan hedonism pembangunan yang berhasil maka
agama mulai merosot.
Pengertian lain dari sekularisasi adalah:
1.
Suatu
keadaan tidak beragama atau tidak bertuhan.
2.
Suatu
situasi dimana proses historis sekularisasi telah atau sedang terjadi.
Menurut Dobbelaere, sekularisasi memiliki 3 pengertian yaitu Laicization,
perubahan agama dan keterlibatan agama. Yang paling ditakuti biasanya adalah
ketika sekularisasi mencapai pengertian ketiga, yang manifestasinya dapat
berbentuk jatuh-bangunnya komunitas agama, perubahan dalam struktur organisasi,
serta perubahan dalam keyakinan, moral dan ritual. Dalam proses sekularisasi
inilah semua bidang kehidupan masyarakat dan kebudayaan menjauhkan diri dari
lembaga-lembaga dan simbol-simbol agama.[5]
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Sekularisme adalah
suatu faham tentang pemisahan Agama dengan urusan duniawi. Urusan duniawi ini
lebih mengkhususkan pada persoalan
politik atau negara. Sehingga dalam paham ini berarti agama itu adalah urusan
pribadi dan masyarakat, bukan urusan politik atau agama. Sekularisasi merupakan
suatu keadaan dimana manusia itu ingin memisahkan agama dengan urusan duniawi
seperti urusan politik, agama, pendidikan, dll. Sehingga sebelum sekularisme
itu ada terlebih dahulu adanya sekularisasi yaitu prosesnya.
Secara garis besar sekularisme adalah suatu paham yang mengandung
tujuan-tujuan tertentu dan prosesnya dicapai, sementara sekularisasi adalah
suatu proses yang merupakan perkembangan masyarakat. Sekularisasi lebih kepada
proses, sedangkan sekularisme lebih menyangkut pada prinsip bahwa kita setuju
dengan proses seperti itu.
C.
PANDANGAN SEKULARISME
Perkembangan
sekularisme terjadi diberbagai macam negara-negara dunia. Namun adanya
sekularisme tersebut menimbulkan berbagai macam pandangan. Disini saya akan
memaparkan pandangan-pandangan mengenai sekularisme khusunya yang ada di
Indonesia.
Sekularisasi
telah menjadi sekularisme yang terbatas. Esensinya adalah devaluasi sektor
kehidupan dan demitologisasi. Karena itu sekularisasi menurut Nurcholis adalah
diferensiasi, sehingga menimbulkan liberalisasi. Konsep ini dimaksudkan untuk
membedakan bukan memisahkan persolan duniawi. Gagasan sekularisasi Nurcholish, yang
dalam pengertian substantifnya menghasilkan penolakan terhadap partai Islam dan
konsep negara Islam, tampaknya menjadi isu sentral sekaligus kontroversial di
awal tahun 1970-an. Yang Nurcholish maksud dengan sekularisasi adalah
menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan
umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Gagasan-gagasan itu
kemudian mendapatkan kritik dan serangan bertubi-tubi dari kelompok skripturalis-tekstualis
Muslim, di antaranya dari kelompok Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). H
M. Rasjidi merupakan salah satu tokohnya. Sebaliknya, kritik bertubi-tubi tak
membuat surut Nurcholish. Gagasannya di awal 1970-an, misalnya, dipertegas lagi
setelah Nurcholish merampungkan studi di Universitas Chicago 1984. Tapi kini ia
lebih suka mengunakan istilah desakralisasi atau demitologisasi daripada
sekularisasi. Proses desakralisasi ialah proses penghilangan kesakralan. Yang
dikenai desakralisasi yaitu segala objek duniawi moral maupun material. Yang
termasuk objek duniawi yang bersifat moral ialah nilai-nilai sedangkan yang
bersifat material ialah benda-benda.[6]
Menurut M.
Dawam Rahardjo, kolega Nurcholish yang sudah mendiskusikan istilah sekularisasi
ini sejak akhir 1960-an, ide tentang sekularisasi Nurcholish itu sejalan dengan
pemikiran Ahmad Wahib. Ketika itu, Ahmad Wahib juga pernah mengatakan bahwa
Islam itu turun dengan melakukan sebentuk sekularisasi.[7]
Artinya, Islam hadir dengan mengemukakan masalah-masalah duniawi secara
rasional, seperti yang ditegaskan Nabi dalam sabdanya, antum a‘lamu bi umûri
dunyâkum. Artinya, dalam sabda itu terdapat pengakuan akan adanya bidang-bidang
kehidupan yang masuk wilayah pemikiran, bukan arena agama. Di situ manusia
bebas melakukan ijtihad sesuai dengan kemampuan pikirnya, dan tidak harus
dicocok-cocokkan dengan agama. Menurut Dawam, kalau pemikiran itu dikemukakan,
itu tidak sama dengan menentang agama sendiri.
Munculnya
pandangan Nurcholish Madjid tentang sekularisasi yang dianggap tidak wajar pada
zamannya, dalam perkembangannya kemudian secara langsung telah memunculkan sebuah
perdebatan panjang mengenai pengertian sekularisme, lebih-lebih setelah
munculnya fatwa MUI. Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa No.
7/MUNAS VII/MUI/II/2015 pada bagian kedua ketentuan hukum poin 2 memutuskan:
“Umat Islam Haram mengikuti paham Plurarisme, Sekularisme dan Liberalisme.”
Penolakan
terhadap pemikiran Islam dan sekularisasi atau sekularisme, terjadi karena ada
pandangan yang menghegemoni bahwa Islam merupakan ajaran suci, karena itu
sekularisasi dianggap sebagai barang haram yang tidak boleh dijamah jika
menginginkan agar kemurnian Islam tetap terjaga.[8]
Konsep sekularisasi atau sekularisme dianggap akan menyingkirkan
dimensi-dimensi metafisik, spiritualitas dan religiusitas yang menjadi inti
ajaran Islam, sehingga menyebabkan manusia akibat sekularisasi atau sekularisme
menjadi kering.
Pengharaman
terhadap semacam sekularisme oleh fatwa MUI pernah mem peroleh kritik tajam
dari Bassam Tibi, seorang intelektual muslim Jerman kelahiran Suriah.
Menurutnya, umat Islam dewasa ini telah kejangkitan sikap mental defensif
karena serbuan modernisasi dan pembaratan (westernisasi), yang merupakan buah
peradaban dominan dewasa ini dan menyebar lewat arus deras globalisasi. Budaya
defensif itu terutama ditandai oleh sikap curiga dan menolak pengaruh asing,
khususnya lewat simbol pembaratan, yang sebenarnya merupakan cerminan dari rasa
rendah diri. [9]
1.
Sekularisme adalah landasan demokrasi
Luthfi Assyaukanie mengatakan bahwa Landasan demokrasi sendiri
adalah sekularisme, negara yang demokratis adalah negara yang sekular. Itu
sebuah aksioma yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tidak mungkin demokrasi
tumbuh dalam platform negara yang berbentuk agama atau ideologi tertentu
yang anti demokrasi. Dengan aksioma itu, Luthfi ingin mengatakan, kalau
negara-negara Muslim mengadopsi demokrasi, maka mereka juga harus mengadopsi
prinsip-prinsip negara sekular. Hanya dengan prinsip sekularisme demokrasi bisa
berkembang. Dengan demikian, kalau Indonesia tetap menginginkan sistem demokrasi,
maka tak ada pilihan lain kecuali menjadi negara sekular.
2.
Sekularisme membendung terjadinya absolutism keagamaan
Di sini Dawam membedakan antara sekularisasi dan sekularisme.
Tetapi pembedaan tersebut bukan tidak berhubungan. Sekularisasi adalah proses, dan
sekularisme adalah pahamnya atau ideologinya. Sekularisme akan menghasilkan
diferensiasi yaitu pembedaan otoritas keagamaan dan negara, tetapi tidak harus
berarti decline of religion. Bahkan sebaliknya bisa menghasilkan perkembangan
keagamaan yang sangat positif. sekularisme itu justru sejalan dengan ajaran
Islam. Karena dalam Islam hanya mengenal kebenaran mutlak itu hanya di tangan
Tuhan. Ada kedaulatan Tuhan, tetapi kita tidak mengerti di mana wujud
kedaulatan Tuhan itu, di mana kita tidak mengerti eksekusi Tuhan, dan bagaimana
mekanisme Tuhan dalam hal ini. Oleh karena itu sekularisme memang diperlukan
untuk menghindari klaim memegang otoritas ketuhanan. Sekularisme penting di
lakukan untuk membendung absolutisme keagamaan. Dawam juga mengatakan, MUI seenaknya
sendiri mendefinisikan pluralisme, liberalisme dan sekularisme untuk
kemudian mengharamkannya. Tampaknya bukan ilmu dan bacaan yang menjadi
sandarannya, melainkan prasangka.[10]
3.
Sekularisme menyelamatkan agama[11]
Jika kita cermati justru di negara sekularlah orang bisa bebas
beragama. Sebaliknya, dalam negara-agama biasanya negara itu didominasi oleh
satu agama atau satu mazhab agama. Di negara sekular keberadaan semua aliran
diperkenankan. Jadi, kebebasan beragama betul-betul dijamin di negara sekular.
4.
Pancasila sebagai objektivikasi Islam
Pancasila sebagai dasar negara sudah menjadi kesepakatan bersama,
tinggal bagaimana kita mengimplementasikan sila-sila yang ada di dalamnya, yang
berisi tentang ketuhanan, kemanusian yang adil dan beradab dan lain sebagainya.
Menurutnya, nilai-nilai dasar demikian bukan hanya sesuai dengan masyarakat
Indonesia, tetapi juga sudah sesuai dengan ajaran agama. Dan dalam
kenyataannya, dasar filosofi yang terkandung di dalam Pancasila tersebut memang
telah teruji di dalam sejarah kehidupan masyarakat bangsa. Dengan demikian,
Pancasila sejalan dengan nilai-nilai Islam. Atau bisa dibalik, bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam tidak bertentangan dengan
Pancasila.
5.
Sekularisme bukan meminggirkan agama, tetapi pembagian peran
Dalam sekularisme, eksistensi agama tidak dipinggirkan. Karena
bagaimanapun agama merupakan kebutuhan yang paling fundamental dalam diri
manusia, sehingga keberadaannya tidak bisa dipisah kan dari kehidupan manusia.
Saiful Mujani mengingatkan, jika sebuah kebijakan dibuat dengan pertimbangan
agama tertentu, kebijakan tersebut bukanlah kebijakan rasional. Karena sebuah
kebijakan yang berlaku publik, kalau ia didasarkan pada agama tertentu, akan
menimbulkan persoalan terhadap pemeluk agama lain.
Zainun Kamal mengatakan, Justru di negara sekularlah agama bisa
tumbuh subur secara bebas karena negara melindungi agama-agama tanpa bermaksud
mengintervensinya. Oleh karena itu, yang harus diperjuangkan adalah sekularisme
yang bisa berdampingan dengan agama. Karena, di setiap bangsa tidak ada orang
yang benar-benar tidak menganut paham sekular, dan tidak ada pula yang
benar-benar tidak beragama. Sementara Islam justru mengalami proses
sekularisasi jauh sebelum itu. Menurutnya, masa Nabi merupakan proses
sekularisasi yang lebih awal dalam peradaban Islam. Sebab, agama-agama di Arab
pada masa sebelum Islam lebih bermuara pada hal-hal yang sifatnya mistis, yang
terpisah dari aturan-aturan rasional ke masyarakatan. Dalam negara Madinah,
Nabi tidak memaksakan suatu agama tertentu untuk menjadi platform bersama.
Platform yang diambil justru sama sekali sekular. Oleh karena itu,
menurut hemat beliau, negara Madinah sama sekali bukan model negara Islam,
melainkan negara sekular, yakni negara yang memisahkan antara agama, urusan
agama yang dianut oleh masyarakatnya, dengan aturan bersama. Di situ terlihat
bahwa yang paling dasar adalah kesepakatan bersama. Begitu kesepakatan
dilanggar, terjadilah masalah.
6.
Sekularisme
bersahabat dengan agama
Dalam pandangan Azyumardi, sekularisme tidaklah berarti mengecilkan
peranan agama. Namun demikian, Azyumardi tidak menafikan adanya berbagai model
penerapan sekularisme di sejumlah negara. Ia membagi penerapan sekularisme
menjadi dua, yakni sekularisme yang friendly, berteman dengan agama atau
tidak memusuhi agama. Contohnya: negara amerika yang memberi kebebasan
perempuan dalam berjilbab. sekularisme unfriendly atau religiously
unfriendly secularism yaitu sekularisme yang bermusuhan terhadap agama. Contohnya:
di negara turki menerapkan kebijakan perempuan dilarang berjilbab, larangan
adanya sebutan identitas Islam.
7.
Agama sebagai sumber moral negara
Masdar F. Mas’udi yang mengatakan bahwa masing-masing agama
mempunyai nilai-nilai universal yang bisa diinternalisasikan menjadi jiwa
negara modern. Misalnya, sebutlah Kristen. Kristen mempunyai nilai-nilai kasih
kepada yang lemah. Ini telah menunjukkan bahwa dalam ke kristenan ada nilai
universal. Dalam agama Hindu ada ajaran dari Gandhi tentang anti-kekerasan,
yang relevan dengan negara modern. Begitu juga Buddha dan agama-agama lainnya.
D.
KESIMPULAN
Dari pembahasan
diatas dapat disimpulkan bahwa Secara kebahasaan, istilah sekularisasi dan
sekularisme berasal dari kata latin saeculum yang berarti sekaligus ruang
dan waktu. Ruang menunjuk pada pengertian duniawi, sedangkan waktu
menunjuk pengertian sekarang atau zaman kini. Sehingga saeculum berarti
dunia ini, dan sekaligus sekarang, masa kini, atau zaman kini.
Sekularisme
adalah suatu paham, yaitu paham keduniawian. Paham ini membentuk filsafat
tersendiri dan pandangan dunia baru yang berbeda atau bertentangan dengan
hampir seluruh agama di dunia ini. secara umum Sekularisme adalah suatu faham
tentang pemisahan Agama dengan urusan duniawi. Sedangkan Sekularisasi ialah
proses penduniawian. Pengertian pokoknya yaitu pengakuan wewenang ilmu
pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi. Dan kehidupan itu
terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaan. Dapat ditegaskan lagi bahwa
sekularisasi pada dasarnya adalah proses penduniawian sedangkan Sekularisme
adalah paham atau nama ideologinya.
Beberapa
Pandangan tentang Sekularisme, antara lain sebagai berikut:
1.
Sekularisme
dianggap barang Haram oleh MUI
2.
Sekularisme
adalah landasan Demokrasi
3.
Sekularisme
membendung terjadinya Absolutism
4.
Sekularisme
menyelamatkan agama
5.
Pancasila
sebagai objektivikasi Islam
6.
Sekularisme
bukan meminggirkan agama tetapi pembagian peran
7.
Sekularisme
bersahabat dengan agama
8.
Agama
sebagai sumber moral negara
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardhawi, Yusuf. Islam dan
Sekularisme. Bandung: Pustaka Setia. 2006.
Karim, M. Rusli. Agama Modernisasi dan Sekularisme. Yogyakarta:
Tiara Wacana. 1994.
Madjid, Nurcholis. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung:
Mizan Pustaka. 2008.
Rachman, Budhy Munawar. Reorientasi Pembaharuan Islam:
Sekularisme, Liberalisme dan Pluralime Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta:
Demokrasi Project. 2010.
Website:
[1] Budhy Munawar
Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan
Pluralime Paradigma Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Demokrasi Project,
2010), 223.
[2] Yusuf
Al-Qardhawi, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 66.
[3] Ibid,. Yusuf
Al-Qardhawi, 67.
[4] M. Rusli
Karim, Agama Modernisasi dan Sekularisme, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1994), 35.
[5] Ibid,. M.
Rusli Karim, 40.
[6] Nurcholis
Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan Pustaka,
2008), 231.
[7] Ibid,. Budhy
Munawar Rachman, 241.
[8] Ibid,. Budhy
Munawar Rachman, 247.
[9] Ibid,. Budhy
Munawar Rachman, 248.
[10] Ibid,. Budhy
Munawar Rachman, 257.
[11] Ibid,. Budhy
Munawar Rachman, 259.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar