Selasa, 06 Desember 2016

SEKULARISME DAN SEKULARISASI



A.    PENDAHULUAN
Modernisasi merupakan suatu proses yang mengandung banyak segi yang mencakup perubahan-perubahan dalam semua kawasan pemikiran dan kegiatan manusia. Modernisasi menyebabkan adopsi politik, hukum dan pendidikan Barat. Sekularisasi merupakan tantangan yang memperkecil peranan agama, tetapi tidak dapat dihindari. Sekularisme mencakup concern terhadap dunia material daripada kepentingan abadi dan spiritual. Suatu cara berfikir sekular cenderung menemukan penjelasan tertinggi segala sesuatu dan tujuan akhir umat manusia di dalam batas yang tidak dapat diindera dan ditemukan. Bagi abad pertengahan, sasaran utama terletak pada dunia nanti, pada kehidupan setelah mati. Sedangkan dalam masyarakat sekular, perhatian tertuju pada disini dan kini, biasanya terarah pada penguasaan benda-benda material.
Sekularisme atau sekularisasi dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu. Sekularisme juga merujuk kepada anggapan bahwa aktivitas dan penentuan manusia, terutamanya yang politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan. Dalam makalah ini akan dibahas lebih jelas mengenai pengertian Sekularisme, Sekularisasi dan pandangan Sekularisme.


B.     PENGERTIAN SEKULARISME DAN SEKULARISASI
Secara kebahasaan, istilah sekularisasi dan sekularisme berasal dari kata latin saeculum yang berarti sekaligus ruang dan waktu.[1] Ruang menunjuk pada pengertian duniawi, sedangkan waktu menunjuk pengertian sekarang atau zaman kini. Sehingga saeculum berarti dunia ini, dan sekaligus sekarang, masa kini, atau zaman kini.
Lembaga-lembaga ilmu pengetahuan Britania menyebutkan bahwa kata Secularism adalah sebuah gerakan sosial yang bertujuan mengalihkan perhatian manusia dari masalah-masalah duniawi semata. Hal itu disebabkan pada abad-abad pertengahan, muncul sebuah keinginan yang sangat besar dikalangan masyarakat untuk meninggalkan (benci) kehidupan duniawi dan mereka hanya memikirkan tentang Allah dan hari akhir.[2]
Didalam kamus Al-‘alam Al-Jadid, Loubster menyebutkan penjelasan terhadap masalah ini seperti berikut:
1.      Semangat keduniawian atau orientasi keduniawian maupun istilah lain yang secara khusus sepadan dengan istilah tersebut adalah sebuah sistem diantara prinsip dan praktis yang menolak bentuk apapun dari agama dan ibadah
2.      Adanya keyakinan bahwa sesungguhnya agama dan urusan-urusan gereja, pada dasarnya tidak boleh masuk kedalam urusan negara. Khususnya dibidang pendidikan umum.
Sementara itu, kamus oxford menyebutkan penjelasan kata Secular sebagai berikut:[3]
1.      Bersifat Duniawi, materi, dan tidak dapat bersifat agama dan spiritual, seperti: pendidikan non agama, diantaranya seni, musik non-religi, pemerintahan tidak agama, pemerintahan yang bertentangan dengan gereja.
2.      Pendapat bahwa sesungguhnya mesti tidak agama itu menjadi dasar bagi akhlak dan pendidikan.
Barry Kosmin membagi sekularisme mutakhir menjadi dua jenis, sekularisme keras dan  ekularisme lunak. Menurutnya, “Sekularisme keras menganggap pernyataan keagamaan tidak mempunyai legitimasi secara epistemologi dan tidak dijamin baik oleh akal maupun pengalaman.” Namun, dalam pandangan sekularisme lunak, ditegaskan bahwa “pencapaian kebenaran mutlak adalah mustahil dan oleh karena itu, toleransi dan skeptisme yang sehat bahkan agnostisisme harus menjadi prinsip dan nilai yang dijunjung dalam diskusi antara ilmu pengetahuan dan agama.”
Definisi yang diberikan Holyoake bahwa sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama wahyu atau supranaturalis tersebut dapat ditafsirkan secara lebih luas, bahwa sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama, dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan, serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu. Artinya, perdebatan mengenai sekularisme tidak lagi menyentuh label dan kemasan, tapi menyentuh isi dan substansi.
Selanjutnya mengenai pengertian sekularisasi. Menurut Davis menganggap sekularisasi sudah merupakan satu takdir dalam masyarakat modern.[4] Masyarakat industri modern didasarkan pada rasionalisasi dan bertujuan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi terus menerus. Sekularisasi yang mengancam eksitensi agama bermakna ganda Entgollerung (runtuhnya agama) dan Die entzauberung der welt (hilangnya magis dari dunia), yang menurut Weber, gejalanya yaitu:
1.      Masyarakat mengalihkan perhatiannya dari usaha-usaha agama other wordly. Kepada dunia ini dan menginvestasikan dunia ini dengan signifikansi positif yang baru.
2.      Masyarakat dengan sendirinya terbebas dari taman magis arkaik dan menghilangkan ke kudusan (desanctify) dunia, untuk kemudian dimanioulasi menjadi cara yang tidak berkhayal.
3.      Sebagai hasil dari pertumbuhan kekayaan dan hedonism pembangunan yang berhasil maka agama mulai merosot.
Pengertian lain dari sekularisasi adalah:
1.      Suatu keadaan tidak beragama atau tidak bertuhan.
2.      Suatu situasi dimana proses historis sekularisasi telah atau sedang terjadi.
Menurut Dobbelaere, sekularisasi memiliki 3 pengertian yaitu Laicization, perubahan agama dan keterlibatan agama. Yang paling ditakuti biasanya adalah ketika sekularisasi mencapai pengertian ketiga, yang manifestasinya dapat berbentuk jatuh-bangunnya komunitas agama, perubahan dalam struktur organisasi, serta perubahan dalam keyakinan, moral dan ritual. Dalam proses sekularisasi inilah semua bidang kehidupan masyarakat dan kebudayaan menjauhkan diri dari lembaga-lembaga dan simbol-simbol agama.[5]
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Sekularisme adalah suatu faham tentang pemisahan Agama dengan urusan duniawi. Urusan duniawi ini lebih  mengkhususkan pada persoalan politik atau negara. Sehingga dalam paham ini berarti agama itu adalah urusan pribadi dan masyarakat, bukan urusan politik atau agama. Sekularisasi merupakan suatu keadaan dimana manusia itu ingin memisahkan agama dengan urusan duniawi seperti urusan politik, agama, pendidikan, dll. Sehingga sebelum sekularisme itu ada terlebih dahulu adanya sekularisasi yaitu prosesnya.
Secara garis besar sekularisme adalah suatu paham yang mengandung tujuan-tujuan tertentu dan prosesnya dicapai, sementara sekularisasi adalah suatu proses yang merupakan perkembangan masyarakat. Sekularisasi lebih kepada proses, sedangkan sekularisme lebih menyangkut pada prinsip bahwa kita setuju dengan proses seperti itu.

C.    PANDANGAN SEKULARISME
Perkembangan sekularisme terjadi diberbagai macam negara-negara dunia. Namun adanya sekularisme tersebut menimbulkan berbagai macam pandangan. Disini saya akan memaparkan pandangan-pandangan mengenai sekularisme khusunya yang ada di Indonesia.
Sekularisasi telah menjadi sekularisme yang terbatas. Esensinya adalah devaluasi sektor kehidupan dan demitologisasi. Karena itu sekularisasi menurut Nurcholis adalah diferensiasi, sehingga menimbulkan liberalisasi. Konsep ini dimaksudkan untuk membedakan bukan memisahkan persolan duniawi. Gagasan sekularisasi Nurcholish, yang dalam pengertian substantifnya menghasilkan penolakan terhadap partai Islam dan konsep negara Islam, tampaknya menjadi isu sentral sekaligus kontroversial di awal tahun 1970-an. Yang Nurcholish maksud dengan sekularisasi adalah menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Gagasan-gagasan itu kemudian mendapatkan kritik dan serangan bertubi-tubi dari kelompok skripturalis-tekstualis Muslim, di antaranya dari kelompok Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). H M. Rasjidi merupakan salah satu tokohnya. Sebaliknya, kritik bertubi-tubi tak membuat surut Nurcholish. Gagasannya di awal 1970-an, misalnya, dipertegas lagi setelah Nurcholish merampungkan studi di Universitas Chicago 1984. Tapi kini ia lebih suka mengunakan istilah desakralisasi atau demitologisasi daripada sekularisasi. Proses desakralisasi ialah proses penghilangan kesakralan. Yang dikenai desakralisasi yaitu segala objek duniawi moral maupun material. Yang termasuk objek duniawi yang bersifat moral ialah nilai-nilai sedangkan yang bersifat material ialah benda-benda.[6]
Menurut M. Dawam Rahardjo, kolega Nurcholish yang sudah mendiskusikan istilah sekularisasi ini sejak akhir 1960-an, ide tentang sekularisasi Nurcholish itu sejalan dengan pemikiran Ahmad Wahib. Ketika itu, Ahmad Wahib juga pernah mengatakan bahwa Islam itu turun dengan melakukan sebentuk sekularisasi.[7] Artinya, Islam hadir dengan mengemukakan masalah-masalah duniawi secara rasional, seperti yang ditegaskan Nabi dalam sabdanya, antum a‘lamu bi umûri dunyâkum. Artinya, dalam sabda itu terdapat pengakuan akan adanya bidang-bidang kehidupan yang masuk wilayah pemikiran, bukan arena agama. Di situ manusia bebas melakukan ijtihad sesuai dengan kemampuan pikirnya, dan tidak harus dicocok-cocokkan dengan agama. Menurut Dawam, kalau pemikiran itu dikemukakan, itu tidak sama dengan menentang agama sendiri.
Munculnya pandangan Nurcholish Madjid tentang sekularisasi yang dianggap tidak wajar pada zamannya, dalam perkembangannya kemudian secara langsung telah memunculkan sebuah perdebatan panjang mengenai pengertian sekularisme, lebih-lebih setelah munculnya fatwa MUI. Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa No. 7/MUNAS VII/MUI/II/2015 pada bagian kedua ketentuan hukum poin 2 memutuskan: “Umat Islam Haram mengikuti paham Plurarisme, Sekularisme dan Liberalisme.”
Penolakan terhadap pemikiran Islam dan sekularisasi atau sekularisme, terjadi karena ada pandangan yang menghegemoni bahwa Islam merupakan ajaran suci, karena itu sekularisasi dianggap sebagai barang haram yang tidak boleh dijamah jika menginginkan agar kemurnian Islam tetap terjaga.[8] Konsep sekularisasi atau sekularisme dianggap akan menyingkirkan dimensi-dimensi metafisik, spiritualitas dan religiusitas yang menjadi inti ajaran Islam, sehingga menyebabkan manusia akibat sekularisasi atau sekularisme menjadi kering.
Pengharaman terhadap semacam sekularisme oleh fatwa MUI pernah mem peroleh kritik tajam dari Bassam Tibi, seorang intelektual muslim Jerman kelahiran Suriah. Menurutnya, umat Islam dewasa ini telah kejangkitan sikap mental defensif karena serbuan modernisasi dan pembaratan (westernisasi), yang merupakan buah peradaban dominan dewasa ini dan menyebar lewat arus deras globalisasi. Budaya defensif itu terutama ditandai oleh sikap curiga dan menolak pengaruh asing, khususnya lewat simbol pembaratan, yang sebenarnya merupakan cerminan dari rasa rendah diri. [9]
1.      Sekularisme adalah landasan demokrasi
Luthfi Assyaukanie mengatakan bahwa Landasan demokrasi sendiri adalah sekularisme, negara yang demokratis adalah negara yang sekular. Itu sebuah aksioma yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tidak mungkin demokrasi tumbuh dalam platform negara yang berbentuk agama atau ideologi tertentu yang anti demokrasi. Dengan aksioma itu, Luthfi ingin mengatakan, kalau negara-negara Muslim mengadopsi demokrasi, maka mereka juga harus mengadopsi prinsip-prinsip negara sekular. Hanya dengan prinsip sekularisme demokrasi bisa berkembang. Dengan demikian, kalau Indonesia tetap menginginkan sistem demokrasi, maka tak ada pilihan lain kecuali menjadi negara sekular.
2.      Sekularisme membendung terjadinya absolutism keagamaan
Di sini Dawam membedakan antara sekularisasi dan sekularisme. Tetapi pembedaan tersebut bukan tidak berhubungan. Sekularisasi adalah proses, dan sekularisme adalah pahamnya atau ideologinya. Sekularisme akan menghasilkan diferensiasi yaitu pembedaan otoritas keagamaan dan negara, tetapi tidak harus berarti decline of religion. Bahkan sebaliknya bisa menghasilkan perkembangan keagamaan yang sangat positif. sekularisme itu justru sejalan dengan ajaran Islam. Karena dalam Islam hanya mengenal kebenaran mutlak itu hanya di tangan Tuhan. Ada kedaulatan Tuhan, tetapi kita tidak mengerti di mana wujud kedaulatan Tuhan itu, di mana kita tidak mengerti eksekusi Tuhan, dan bagaimana mekanisme Tuhan dalam hal ini. Oleh karena itu sekularisme memang diperlukan untuk menghindari klaim memegang otoritas ketuhanan. Sekularisme penting di lakukan untuk membendung absolutisme keagamaan. Dawam juga mengatakan, MUI seenaknya sendiri mendefinisikan pluralisme, liberalisme dan sekularisme untuk kemudian mengharamkannya. Tampaknya bukan ilmu dan bacaan yang menjadi sandarannya, melainkan prasangka.[10]
3.      Sekularisme menyelamatkan agama[11]
Jika kita cermati justru di negara sekularlah orang bisa bebas beragama. Sebaliknya, dalam negara-agama biasanya negara itu didominasi oleh satu agama atau satu mazhab agama. Di negara sekular keberadaan semua aliran diperkenankan. Jadi, kebebasan beragama betul-betul dijamin di negara sekular.
4.      Pancasila sebagai objektivikasi Islam
Pancasila sebagai dasar negara sudah menjadi kesepakatan bersama, tinggal bagaimana kita mengimplementasikan sila-sila yang ada di dalamnya, yang berisi tentang ketuhanan, kemanusian yang adil dan beradab dan lain sebagainya. Menurutnya, nilai-nilai dasar demikian bukan hanya sesuai dengan masyarakat Indonesia, tetapi juga sudah sesuai dengan ajaran agama. Dan dalam kenyataannya, dasar filosofi yang terkandung di dalam Pancasila tersebut memang telah teruji di dalam sejarah kehidupan masyarakat bangsa. Dengan demikian, Pancasila sejalan dengan nilai-nilai Islam. Atau bisa dibalik, bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam tidak bertentangan dengan Pancasila.
5.      Sekularisme bukan meminggirkan agama, tetapi pembagian peran
Dalam sekularisme, eksistensi agama tidak dipinggirkan. Karena bagaimanapun agama merupakan kebutuhan yang paling fundamental dalam diri manusia, sehingga keberadaannya tidak bisa dipisah kan dari kehidupan manusia. Saiful Mujani mengingatkan, jika sebuah kebijakan dibuat dengan pertimbangan agama tertentu, kebijakan tersebut bukanlah kebijakan rasional. Karena sebuah kebijakan yang berlaku publik, kalau ia didasarkan pada agama tertentu, akan menimbulkan persoalan terhadap pemeluk agama lain.
Zainun Kamal mengatakan, Justru di negara sekularlah agama bisa tumbuh subur secara bebas karena negara melindungi agama-agama tanpa bermaksud mengintervensinya. Oleh karena itu, yang harus diperjuangkan adalah sekularisme yang bisa berdampingan dengan agama. Karena, di setiap bangsa tidak ada orang yang benar-benar tidak menganut paham sekular, dan tidak ada pula yang benar-benar tidak beragama. Sementara Islam justru mengalami proses sekularisasi jauh sebelum itu. Menurutnya, masa Nabi merupakan proses sekularisasi yang lebih awal dalam peradaban Islam. Sebab, agama-agama di Arab pada masa sebelum Islam lebih bermuara pada hal-hal yang sifatnya mistis, yang terpisah dari aturan-aturan rasional ke masyarakatan. Dalam negara Madinah, Nabi tidak memaksakan suatu agama tertentu untuk menjadi platform bersama. Platform yang diambil justru sama sekali sekular. Oleh karena itu, menurut hemat beliau, negara Madinah sama sekali bukan model negara Islam, melainkan negara sekular, yakni negara yang memisahkan antara agama, urusan agama yang dianut oleh masyarakatnya, dengan aturan bersama. Di situ terlihat bahwa yang paling dasar adalah kesepakatan bersama. Begitu kesepakatan dilanggar, terjadilah masalah.
6.      Sekularisme bersahabat dengan agama
Dalam pandangan Azyumardi, sekularisme tidaklah berarti mengecilkan peranan agama. Namun demikian, Azyumardi tidak menafikan adanya berbagai model penerapan sekularisme di sejumlah negara. Ia membagi penerapan sekularisme menjadi dua, yakni sekularisme yang friendly, berteman dengan agama atau tidak memusuhi agama. Contohnya: negara amerika yang memberi kebebasan perempuan dalam berjilbab. sekularisme unfriendly atau religiously unfriendly secularism yaitu sekularisme yang bermusuhan terhadap agama. Contohnya: di negara turki menerapkan kebijakan perempuan dilarang berjilbab, larangan adanya sebutan identitas Islam.
7.      Agama sebagai sumber moral negara
Masdar F. Mas’udi yang mengatakan bahwa masing-masing agama mempunyai nilai-nilai universal yang bisa diinternalisasikan menjadi jiwa negara modern. Misalnya, sebutlah Kristen. Kristen mempunyai nilai-nilai kasih kepada yang lemah. Ini telah menunjukkan bahwa dalam ke kristenan ada nilai universal. Dalam agama Hindu ada ajaran dari Gandhi tentang anti-kekerasan, yang relevan dengan negara modern. Begitu juga Buddha dan agama-agama lainnya.


D.    KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Secara kebahasaan, istilah sekularisasi dan sekularisme berasal dari kata latin saeculum yang berarti sekaligus ruang dan waktu. Ruang menunjuk pada pengertian duniawi, sedangkan waktu menunjuk pengertian sekarang atau zaman kini. Sehingga saeculum berarti dunia ini, dan sekaligus sekarang, masa kini, atau zaman kini.
Sekularisme adalah suatu paham, yaitu paham keduniawian. Paham ini membentuk filsafat tersendiri dan pandangan dunia baru yang berbeda atau bertentangan dengan hampir seluruh agama di dunia ini. secara umum Sekularisme adalah suatu faham tentang pemisahan Agama dengan urusan duniawi. Sedangkan Sekularisasi ialah proses penduniawian. Pengertian pokoknya yaitu pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi. Dan kehidupan itu terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaan. Dapat ditegaskan lagi bahwa sekularisasi pada dasarnya adalah proses penduniawian sedangkan Sekularisme adalah paham atau nama ideologinya.
Beberapa Pandangan tentang Sekularisme, antara lain sebagai berikut:
1.      Sekularisme dianggap barang Haram oleh MUI
2.      Sekularisme adalah landasan Demokrasi
3.      Sekularisme membendung terjadinya Absolutism
4.      Sekularisme menyelamatkan agama
5.      Pancasila sebagai objektivikasi Islam
6.      Sekularisme bukan meminggirkan agama tetapi pembagian peran
7.      Sekularisme bersahabat dengan agama
8.      Agama sebagai sumber moral negara









DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardhawi, Yusuf. Islam dan Sekularisme. Bandung: Pustaka Setia. 2006.
Karim, M. Rusli. Agama Modernisasi dan Sekularisme. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994.
Madjid, Nurcholis. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan Pustaka. 2008.
Rachman, Budhy Munawar. Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralime Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta: Demokrasi Project.  2010.

Website:



[1] Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralime Paradigma Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Demokrasi Project, 2010), 223.
[2] Yusuf Al-Qardhawi, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 66.
[3] Ibid,. Yusuf Al-Qardhawi, 67.
[4] M. Rusli Karim, Agama Modernisasi dan Sekularisme, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), 35.
[5] Ibid,. M. Rusli Karim, 40.
[6] Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan Pustaka, 2008), 231.
[7] Ibid,. Budhy Munawar Rachman, 241.
[8] Ibid,. Budhy Munawar Rachman, 247.
[9] Ibid,. Budhy Munawar Rachman, 248.
[10] Ibid,. Budhy Munawar Rachman, 257.
[11] Ibid,. Budhy Munawar Rachman, 259.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar