A.
PENDAHULUAN
Pemikiran
modern dikalangan umat Islam muncul seiring dengan malaise total yang terjadi
akibat tidak adanya upaya menerjemahkan Islam dalam menghadapi kecenderungan
baru. Perkembangan baru yang diakibatkan oleh persentuhan dengan kultur barat ini
mengakibatkan tersisihnya umat Islam dipojok-pojok keterbelakangan. Para tokoh
dikalangan muslim mulai merenungkan kemungkinan untuk mengadopsi ide-ide baru
yang dibawa kaum pendatang Eropa. Oleh karena itu, dimualailah era baru dengan
dirumuskannya pemikiran modern dikalangan masyarakat muslim.
Salah satu dari
pemikiran modern dalam Islam yaitu Sayyid Quthb. Ia merupakan salah satu pemikir Islam yang
banyak diilhami oleh Al-Maududi, beliau adalah seorang penyair dan guru. Sayyid
Qutb adalah salah satu anggota dari Ikhwanul Muslimin dan beliau bergabung pada
tahun 1953 serta menjabat sebagai penasihat kebudayaan serta menjadi editor
koran Ikhwanul Muslimin. Selengkapnya akan dibahas pada makalah ini.
B.
BIOGRAFI
Sayyid Quthb
lahir pada tanggal 9 Oktober 1906 di Desa Musya, dekat kota Asyru, Mesir Atas.
Sebagian diri Qutbh mengalir Darah India. Ia adalah anak sulung dari lima
bersaudara, dengan seorang saudara lelaki dan tiga saudara perempuan. Ayahnya,
Al-Hajj Quthb Ibrahim merupakan anggota Al-Hijb Al-Wathani (partai Nasionalis),
pimpinan Mushthafa Kamil dan berlangganan surat kabarnya, al-Liwa (bendera).
Meskipun keadaan keuangan keluarga Quthb sedang menurun pada saat hari lahir,
keluarga ini tetap berwibawa berkat status ayahnya yang berpendidikan.[1]
Quthb adalah
anak yang cerdas. Ia mampu menghafal seluruh Al-Quran pada usia 10 tahun.
Meskipun memang ikuti kuttab (sekolah agama) desa, dia segera pindah ke
sekolah pemerintah, dan lulus pada 1918. Quthb pindah ke Hulwan (di Pinggir
Kota Kairo) pada 1919 atau 1921. Ia tinggal bersama pamannya yang berprofesi
jurnalis dari 1921 hingga 1925, mengikuti pendidikan keguruan pada 1925, dan
lulus pada 1928. Ia mengikuti kuliah secara informal pada 1928 dan 1929 di Dar
al Ulum (didirikan pada 1872 sebagai universitas Mesir Modern bermodel Barat).
Pada 1930, ia diterima secara formal di lembaga ini dan lulus pada 1933 dengan
gelar sarjana muda dalam bidang pendidikan. Sebagai pengakuan atas prestasinya,
ia ditunjuk sebagai dosen di Dar al-Ulum, tetapi ia memperoleh nafkah pokoknya
antara 1933 dan 1951 sebagai pegawai di kementrian pendidikan dan disana ia
kelak memegang jabatan inspektur selama beberapa tahun.
Ia adalah
pengarang, pendidik, penyair dan cendikiawan terkemuka di tahun 1930-an.
Penulis 24 buku, termasuk novel, kritik sastra, pendidikan, ia sangat dikenal
didunia Islam karena karyanya yang ia yakini sebagai peran sosial dan politik
Islam, khususnya dalam bukunya tentang al-adalah al-ijtimaiyyah dan Ma’alim
fi al-Thariq. Magnum opusnya, Fi Zilal al-Quran (dibawah Naungan
al-Quran), adalah tafsir al-Quran 30 Jus. Sekalipun pandangan dan kritiknya
ditujukan kepada umat Islam, Quthb dikenal karena penolakannya terhadap
masyarakat dan budaya amerika, yang ia pandang sebagai diliputi oleh
materialism dan kekerasan. Pandangan orang tentang Quthb beragam.[2]
Ia digambarkan sebagai penyokong kesenian dan kesyahidan dalam Islam, tetapi
banyak pengamat Barat menilainya sebagai salah seorang yang membentuk ide-ide
Islamis khususnya kelompok teroris seperti al-Aqidah. Sekarang,
pendukung-pendukungnya diidentifikasikan sebagai Qutbis atau Qutbi, sekalipun
mereka sendiri tidak menyebut diri mereka seperti itu.
Quthb tidak
menikah, sebagiannya karena keyakinannya yang kuat terhadap agama. Sementara
masyarakat kota mesir menjadi semakin terbaratkan, Quthb yakin bahwa Qur’an
mengajarkan kepada wanita bahwa “lelaki adalah pemimpin wanita”. Quthb mengeluh
bahwa ia tidak pernah bisa mendapatkan seorang wanita yang memiliki kesucian
moral dan kebijakan, dan karena itu ia tetap membujang.
Sayyid Quthb
mulai belajar disejumlah Negara barat seperti Sanford University di California,
Greelay Colege di Colorado. Dari belajarnya di Negara-negara Barat, Quthb
banyak mendapat ilustrasi berbagai hal yang terjadi di masyarakat barat. [3]Quthb
melewatkan tiga tahun di luar negeri, meninggalkan Amerika pada musim panas
1950 dan mengunjungi Inggris, Swiss dan Italia dalam perjalanan pulang ke Mesir
pada 1951. Perjalananya ke Amerika adalah saat yang menentukan baginya, yaitu
menandai perpindahan dari mina terhadap sastra dan pendidikan menjadi komitmen
yang kuat terhadap agama. Meskipun ia mengakui prestasi ekonomi dan ilmu
pengetahuan masyarakat Amerika, Quthb terperanjat melihat rasisme, kebebasan
seksual dan pro-Zionisme.[4]
Ketika pulang
ke Mesir, Quthb menerbitkan sebuah artikel yang berjudul “ Amerika yang saya
lihat:. Ia mengkritik banyak hal yang ia lihat di Amerika Serikat, seperti materialism,
kebebesan individu, sistem ekonomi, rasisme, pertandingan tinju brutal,
potongan rambut jelek, antusiasme, olahraga, basi-basi dalam percakapan,
pembatasan perceraian dan percampuran laki-laki-perempuan seperti halnya
binatang, tak adanya perasaan artistik, sepinya dukungan terhadap perjuangan
Palestina. Pengalamannya di US diyakini telah membentuk semangat penolaknnya
terhadap nilai-nilai Barat dan kecenderungannya ke arah radikalisme.
Pada tahun
1953, Quthb memasuki Ikhwan al-Muslimin dan ditunjuk menjadi penyunting surat
kabar mengguannya Al-Ikhwan Al-Muslimun. Tak lama itu, ia menjadi Direktur
bagian propaganada Ikhwan al-Muslimin dan dipilih untuk mengabdi pada badan
tertingginya, komite kerja dan dewan pembimbing. Pada tahun 1966 untuk kesekian
kalinya, pemerintah Mesir menyeretnya ke pengadilan atas tuduhan penghasutan
dan menjatuhi hukuman mati.[5]
Meskipun terdapat tekanan kuat dari masyarakat internasional, pemerintahan
tetap menghukum mati Quthb beserta dua rekan-rekannya pada 29 Agustus 1966.
Sejak saat itu, ia dikenang sebagai Syuhada’ oleh para pengikutnya.
C.
PEMIKIRAN SAYYID QUTHB
1.
Jahiliyah Modern
Barangkali
lebih daripada pemikiran muslim sunni pasca perang dunia II lainnya, Sayyid
Quthb mempersonifikasikan kegigihan gerakan Islam dalam menentang Barat dan
pemimpin masyarakat Islam yang mereka nilai mengabaikan hukum Islam. Quthb memandang
para pemimpin masyarakat Islam yang tidak ia setujui dan masyarakat yang
mengikuti mereka, sebagai hidup dalam keadaan jahiliyah (secara harfiah,
mengabaikan kebenaran), yang dianggap sebagai suatu yang berbahaya bagi Islam.[6]
2.
Universalitas Islam
Karya tulis
Quthb menunjukkan komitmennya yang teguh pada kitab suci. Bagi Quthb, mudah
terbukti dengan sendirinya bahwa apabila Al-Quran memuat suatu pesan, manusia
harus menjalankan pesan tersebut. Pemikiran Quthb mengenai hal ini amat jelas.
Tidak terpikir olehnya bahwa kaum muslimin yang hidup dalam lintasan waktu
historis, akan menafsirkan ulang tradisi dan masa lalu mereka dalam konteks
keadaan historis kontemporer mereka. Quthb jelas menganut pandangan bahwa Islam
merupakan sehimpunan gagasan dan praktik yang tak lekang oleh waktu. Quthb
bukanlah penganjur keagungan akal budi. Pemahaman pengetahuan bukanlah
persoalan kegiatan intelektual, melainkan masalah penerimaan kebenaran yang
asal-usulnya mutlak ilhaniah.
Bagi Quthb
universalitas Islam ini berarti bahwa Islam itu tidak hanya mementingkan
persoalan-persoalan materiil duniawi, tetapi juga persoalan-persoalan spiritual
ukhrawi. Universalitas Islam tidak hanya memberikan keterangan kepada fitrah
manusia karena ia menghadapi fitrah tersebut dengan tabiatnya yang padu, tidak
membebaninya secara paksa dan tidak memecah belah eksistensinya, tetapi pada
saat yang sama juga melindungi fitrah tersebut dari kecenderungan selain Allah.
Ia menjaga agar tetap berada dalam batas-batas sistem dan syariat Allah dalam
segala aspek kehidupan.[7]
3.
Tanggapan atas Pemikiran Barat
Sebagai
pendidik professional, Quthb menekankan peran pedagogis seorang pembimbing yang
mengajarkan kebenaran iman sejati pada muridnya. Meskipun menyaksikan langsung
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, Quthb memandang Barat mengalami
kebangkrutan spiritual dan berkepala batu dalam menentang Islam. Dia menyerang
marxisme sebagai hal yang setara dengan perbudakan manusia.[8]
Dibalik
penolakannya yang tidak terrekontruksi terhadap pemikiran Barat, Quthb
sebagaimana halnya pemikir Islam abad ke-20, tidak ragu-ragu menggunakan konsep
yang berakar dalam tradisi barat. Ia tidak mengakui Barat sebagai asal-usul
gagasan semacam itu, dengan merujuk ke periode Islam awal untuk sampai pada
pendapat bahwa gagasan tersebut kenyataannnya tersebar dalam Islam meskipun
sebenarnya banyak konsep ini diturunkan dari tradisi Yunani kuno atau bersumber
dari masa pencerahan dan revolusi Prancis dan setelahnya.
4.
Tentang Kebangkitan Islam
Dalam bukunya, Fi
Al-Tarikh, Fikratun wa Minhajun, ia menyatakan bahwa kebangkitan dunia
islam sudah siap dan sudah bergerak untuk berlaga dengan lawan. Hal ini tidak
saja di bagian dunia Islam yang sudah berhasil membebaskan diri dari
perjajahan, tetapi juga dikalangan umat Islam yang negerinya sendiri masih
diduduki penjajah. Mereka telah menemukan kembali tenaga hidup yang bergelora
didalam hati dan telah menyadari bahwa api mereka terselubung abu, dan
karenanya harus dinyalakan kembali.
5.
Pemikiran Kalam Quthb
Sayyid Quthb,
dalam pandangannya tentang Islam menyatakan bahwa agama Islam berkepentingan
untuk memacu pembaharuan, peningkatan, dan pengembangan kehidupan. Ia
berkepentingan untuk mendorong seluruh potensi manusia agar dapat berkreasi,
membesar dan meningkat. Lebih lanjut Quthb berpendapat bahwa Islam sama sekali
tidak mengingkari adanya kelemahan manusia. Tetapi pada waktu yang sama ia juga
menyatakan adanya kekuatan manusia. Islam menuntut agar penganutnya selalu
memperbesar kekuatan seraya memperkecil kelemahan. Ia ingin meningkatkan dan
memajukan harkat manusia, bukan menyetujui atau menghiasi kelemahan mereka. Ia
mengharuskan umatnya agar mengikis habis kelemahan itu bila memang dirasakan.
D.
SAYYID QUTHB DENGAN IKHWANUL MUSLIMIN
Sayyid Quthb merupakan pemikir kedua dalam jajaran organisasi IM setelah
Al-Banna.[9] Ia sangat mempengaruhi
pemikiran para aktivis IM khususnya kalangan radikal dari organisasi ini.
Bahkan ia merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dan mengilhami banyak gerakan
Islam di dunia Muslim. Ia layak disejajarkan dengan para tokoh penganjur
kebangkitan Islam seperti Hasan Al-Banna, Abul A’la Al-Maududi, Imam Khoemeni,
Bagir Sadr, Abdussalam Farraq, Said Hawa dan Juhaiman Al-Utaibi.
Konsep politik dari pemikiran politik Quthb yang penting adalah konsep Hakimiyah,
konsep manhaj dan Negara Islam.
1.
Hakimiyah
Konsep Quthb tentang Hakimiyah (kedaulatan) tampaknya mirip dengan konsep
Maududi. Ia berpendapat, bahwa kedaulatan sepenuhnya milik Tuhan. Oleh karena itu
perhambaan total manusia harus kepada Tuhan semata-mata. Kaum Muslim harus
bertindak dan bekerja didalam batas-batas wahyu Al-Quran, seperti diajarkan
oleh Nabi Muhammad, yang peranannya sebagai pemandu perhambaan manusia kepada
Tuham.
2.
Manhaj
Sayyid Quthb mengajukan sebuah metode (manhaj) dan penahapan perjuangan
yang bersumber dari sejarah Nabi. Manhaj Islam dibagi menjadi 4 tahap, antara
lain sebagai berikut:[10]
a) Tahap pertama dibentuknya Jama’ah
b) Tahap kedua ialah tahap ketika jamaah
dimusuhi karena keyakinannya
c) Tahap ketiga yakni Hijrah
Manhaj yang terkenal saat itu adalah Manhaj Rabbani (metode ilahi)
mempunyai beberapa karakteristik yaitu benar dan lurus tidak ada salah
didalamnya, paling agung dari manhaj apapun (ciptaan manusia), sesuai dengan
fitrah manusia, juga mempunyai keefektifan yang tinggi.[11] Menurut Quthb, Rabbani
merupakan konsep pertama dan utama yang menjadi sumber bagi
karakteristik-karakteristik lainnya. Islam bersumber pada Al Quran yang berasal
dari Allah. Sebagai ajaran dari Tuhan, manusia hanyalah menerima, memahami, beradaptasi
dengannya dan menerapkan tuntunannya dalam kehidupan mereka.[12] Sayyid Quthb menyimpulkan
bahwa manhaj tersebut mempunyai beberapa keistemewaan yang utama, yaitu:
a) Realitas dalam setiap dimensinya
b) Kesungguhan
c) Konstruktif
d) Berperiodik
e) Mempersembahkan dakwa sebagai amal kepada
para aktivis pergerakan Islam
f) Dalam gerakannya memiliki tujuan-tujuan
tertentu yaitu menumbangkan kejahiliahan. dan mempunyai sifat tawakkal dan
berserah diri pada qadar.
3.
Negara Islam
Menurut Quthb, guna menjamin pembagian kekayaan secara merata, maupun
memberikan bimbingan dalam hal-hal kebijaksanaan umum, serta berusaha
melaksanakan pandangan dan nilai-nilainya Islam harus menguasai Negara. Tidak
dapat dielakkan bahwa Islam harus memerintah, karena Islam adalah satu-satunya
ideology-konstruktif dan positif, yang lebih sempurna dari agama Kristen dan
komunisme, yang melampaui semua tujuan mereka dalam mencapai keseimbangan dan integrasi.
Dalam tulisannya, Quthb tidak mengemukakan pokok-pokok apapun tentang
bentuk suatu Negara Islam. Ia hanya menekannkan bahwa Negara Islam harus
demokratis berdasarkan prinsip Syura’ (Musyawarah). Tetapi karena
Syariat tidak menetapkan suatu cara tertentu, apakah hal itu tergantung pada
pendapat kaum muslim seluruhnya, atau pada pimpinan yang menguasai soal-soal
Negara, maka cara mengambil konsensus diserahkan kepada umat Islam agar sesuai
dengan keperluan zaman. Selain itu Negara Islam berprinsip bahwa muslim harus
berperan dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Ini tidak boleh
dilanggar.
Sayyid Quthb telah berusaha mengembangkan gagasan kenegaraannya tentang
khilafah untuk konteks modern. Gagasan Sayyid Quthb ternyata bukan tidak
mendapat tempat dalam peta gerakan dan pemikiran Islam kontemporer. Dalam
konteks kontemporer, gagasan Quthb memberi landasan yang kukuh terhadap gerakan
dan pemikiran Hizb Al-Tahrir untuk
mengembangkan khilafah. Apakah cita-cita mereka akan berhasil, sejarah masih
akan terus bergulir.[13]
E.
KESIMPULAN
Pemikiran Modern dalam Islam muncul seiring dengan berjalannya waktu.
Sayyid Quthb merupakan salah satu pemikir Modern dalam Islam tersebut. Ia
termasuk orang yang cerdas, karena mampu menghafal 30 jus Al Quran pada usia 10
Tahun. Ia adalah pengarang, pendidik, penyair dan cendikiawan terkemuka.
Sayyid Quthb adalah pemikir radikal sekaligus aktivis yang militant dalam
gerakan Islam modern Kontemporer. Pemikirannya mempengaruhi para aktivis Islam
diberbagai belahan dunia Islam lainnya. Pemikiran
Qutb dalam sosial dan politik sangat dipengaruhi oleh kondisinya dan kondisi
lingkungannya. Dari pandangan politik Qutb yang telah dijelaskan di atas kita
pun menemukan geneologi pembenaran atas tindakan represif dalam menegakan
kebenaran ajaran agama baik dalam konteks jihad politik maupun konteks keberagaman
murni karena ia tidak memisahkan antara agama dan politik.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan, Abdillah F. Tokoh-tokoh Mashur Dunia Islam. Surabaya:
Jawara Surabaya. 2004.
Iqbal, Muhammad. Pemikiran Politik Islam. Jakarta:
Kencana. 2010.
Mughni, Syafig A. Radikalisme Dalam Sejarah Islam. Surabaya:
Jurusan SKI IAIN Sunan Ampel. 2010.
Rahmat, Fathi. Revolusi Hasan
Al-Banna. Jakarta: Hikmah. 2002.
Rahmat, M. Imadadun. Arus Baru
Islam Radikal. Jakarta: Erlangga. 2005.
Saefuddin, Didin. Pemikiran Modern dan Postmodern Islam.
Jakarta: PT Grasindo. 2003.
[1] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, (Jakarta:
PT Grasindo, 2003), 100.
[2] Syafig A. Mughni, Radikalisme Dalam Sejarah Islam, (Surabaya:
Jurusan SKI IAIN Sunan Ampel, 2010), 75.
[3] Abdillah F Hasan, Tokoh-tokoh Mashur Dunia Islam, (Surabaya:
Jawara Surabaya, 2004), 289.
[4] Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, 101.
[5] Hasan, Tokoh-tokoh Mashur Dunia Islam, 290.
[6] Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, 104.
[7] Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Kencana,
2010), 212.
[8] Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, 108.
[9] M. Imadadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, (Jakarta:
Erlangga, 2005), 43.
[10] Ibid., 48-49.
[11] Fathi Yakan, Revolusi Hasan Al-Banna, (Jakarta: Hikmah, 2002),
71.
[12] Iqbal, Pemikiran Politik Islam, 211.
[13]
Iqbal, Pemikiran Politik Islam, 217.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar