KOTA YOGYAKARTA
Oleh: Nia
Susanti
Pusat kota seringkali menjadi bidang kajian sejarah kota. Pada
dasarnya kajian sejarah kota tidak membicarakan sejarah daripada kota itu
sendiri, melainkan membicarakan tentang gejala-gejala sosial yang terjadi pada
kota tersebut yang meliputi permasalahan urbanisasi, sistem sosial,
transformasi sosial-ekonomi, perubahan ekologis dan lain sebagainya. Pada paper
ini akan membahas mengenai kajian sejarah kota Yogyakarta, yang terfokus pada
transformasi sosial ekonomi dan perubahan ekologis.
Kota Yogyakarta merupakan tipologi kota tradisional dan khas kota
Jawa yang masih tersisa hingga saat ini. Konsep kota tradisional merupakan konsep lokal
tentang perkembangan kota di Indonesia. Konsep kota tradisional dalam konteks
sejarah kota di Barat dalam beberapa hal dapat disejajarkan dengan konsep kota
preindustrial, yaitu kota yang belum bersentuhan dengan industrialisasi, konsep
kota tradisional bukanlah konsep waktu yang mendahului konsep kota modern.
Menurut konsep lokal, yang dimaksud dengan kota Tradisional adalah kota yang
merupakan pusat kekuasaan tradisional, sehingga pengelolaan kota masih berada
dibawah penguasaan bumi putra dan campur tangan orang asing terhadap
pengembangan kota masih minim.
KERATON
Penanda kota Yogyakarta adalah Keraton yaitu tempat tinggal raja,
sang penguasa. Keraton Yogyakarta dibangun oleh Hamengku Buwono pada tahun
1756. Pada masa dahulu Keraton juga merupakan kompleks bangunan tempat bekerja
para pendeta, pegawai administrasi dan para seniman. Kawasan yang kemudian
dibangun menjadi Keraton sudah dikenal oleh kerabat mataram sebelum Keraton
Yogyakarta berdiri. Kawasan tersebut dalam babad Giyanti bernama Gerijiwati,
dan kemudian diganti menjadi Ayogya yang terletak di Hutan Bringan. Setelah perjanjian
Giyanti tahun 1755 ditandatangani, Hutan Bringan mulai dibuka yaitu disebuah
pedukuhan disebut Pacethokan. Tempat tersebut dibuka untuk pembangunan Istana
raja dan rumah-rumah para bupati.
Pada waktu hutan dibuka, Sultan Hamengku Buwono I (Mangkubumi)
bertempat tinggal di Ambarketawang, Gamping, terletak lebih 5 Km sebelah barat
kota Yogyakarta sekarang, setelah Keraton selesai, Hamengku Buwono I pindah ke
kota, yang kemudian bernama Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah Keraton berdiri
maka tempat tersebut menjadi orientasi utama kawasan Yogyakarta. Jalan-jalan pun
pada awalnya bermuara ke Keraton.
Keraton dianggap sebagai wilayah yang sakral, yang teratur dan
harus diatur. Bangunan-bangunan yang ada di Keraton misalnya, menggambarkan sesuatu yang bisa di ingat oleh
manusia. Pada bangunan keraton terdapat dua bentuk bunga Lotus dan Teratai yang
melambangkan Lotus itu Hindu dan Teratai itu Islam. Dari hal ini menggambarkan
bahwa bangunan Keraton itu bernuansa Islam dan juga Hindu. Di Keraton juga terdapat 64 pohon beringin dan juga 63 pilar yang
mengelilingi Keraton yang melambangkan usia Nabi Muhammad ketika wafat yaitu
usia 63 tahun. Di dalam Keraton juga terdapat 6 pohon Gayam yang melambangkan
Rukun Iman itu ada 6. Konon katanya pohon Gayam ini digunakan untuk
menghilangkan bau badan, di dalam Keraton
terdapat banyak jenis bangsal antara lain sebagai berikut:
1.
Bangsal
Pagelaran yang digunakan ketika ada sekaten dan 2 Hari Raya Idul Adha dan Idul
Fitri
2.
Bangsal
Pamendangan
3.
Bangsal
Pangrawit
4.
Bangsal
Pangapit tempat istirahanya prajurit
5.
Bangsal
Tarup Agung
6.
Bangsal
Siti Inggil
7.
Bangsal
Qori
8.
Bangsal
Balai angun-angun sebagai penyimpanan gamelan peninggalan Sunan Kalijogo
Seiring berjalannya waktu, Keraton ini digunakan sebagai tempat
wisata atau penelitian sejarah. Tetapi aturan dan adat yang ada di Keraton
tetap ada dan harus ditaati oleh semua pengunjung Keraton. Sehingga di dalam
Keraton juga ada sebuah tempat yang di dalamnya terdapat berbagai patung
mengenakan busana adat Keraton. Selain itu juga ada pernak-pernik Keraton. Ada
juga Ayam yang terletak didalam sangkar itu menggambarkan Nabi Adam dan
istrinya Ibu Hawa.
Sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja, Keraton
dianggap sebagai miniatur makrokosmos (jagat raya), sehingga kraton juga dianggap
sebagai mikrokosmos (jagat kecil). Adapun Manifestasi Kraton sebagai
Mikrokosmos (Jagat kecil) yaitu sebagai berikut:
1.
Tempat
tinggal raja yang biasa disebut “dalem agung” diibaratkan sebagai puncak
Mahameru (gunung Semeru di Jawa)
2.
Kekuasaan
dan wibawa raja dirasakan sangat besar di area “dalem agung”
3.
Lingkaran
yang menjadi pelingkup Keraton disebut “kuthanegara”. Kawasan ini ditandai
adanya benteng Keraton yang mengelilinginya
4.
“Negaragung” atau
“negara agung” (negara besar) adalah kawasan lingkaran luar setelah
“kuthanegara”
5.
Kawasan
“negaragung” secara spasial adalah kawasan di luar benteng Keraton tetapi masih
berada di dalam lingkaran ibukota negara (ibukota kerajaan)
PLENGKUNG
Keraton dikelilingi oleh benteng, dan di beberapa tempat terdapat lorong
yang disebut Plengkung, karena bentuknya melengkung. Plengkung berfungsi
sebagai jalan raya. Pada awalnya jumlah plengkung ada lima, yaitu:
1.
Plengkung
Tarunasura atau Plengkung Wijilan berada di sisi utara sebelah timur,
sekaligus menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau Kadipaten. Plengkung
ini bentuknya masih utuh.
2.
Plengkung
Nirboyo atau Plengkung Gadhing yang terdapat di sisi selatan masih berdiri
utuh. Fungsi khusus gerbang ini adalah sebagai jalan untuk menghantar
sultan yang wafat menuju makam para raja di Imogiri Pada sisi kiri dan kanan
pintu terdapat ragam hias kepala raksasa yang disebut Kala atau Kemamang
sebagai simbol pelepasan mangkatnya sang raja.
3.
Plengkung
Jagasura atau Plengkung Ngasem berada di sisi utara sebelah barat. Plengkung
ini pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII telah mengalami perubahan bentuk
menjadi gerbang bentar.
4.
Di
sebelah barat dahulu berdiri Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari. Saat ini, Plengkung Jagabaya ini juga sudah
berubah bentuk menjadi gapura.
5.
Di
sisi sebelah timur, dahulu berdiri Plengkung Madyasura yang disebut pula
Plengkung Tambakbaya atau Plengkung Gondomanan, yang sudah rata dengan
tanah. Ada pula yang menyebutnya dengan
nama Plengkung Buntet, karena pernah ditutup menjelang serangan balatentara
Inggris pada tahun 1812. Saat ini sudah tidak ada lagi
TAMANSARI
Tamansari adalah sebuah petilasan
untuk peristirahatan raja-raja Yogyakarta yang dibangun oleh Hamengku Buwono I
pada tahun 1758-1765 Terletak di sebelah barat daya Keraton Yogyakarta. Pada
awalnya memiliki luas sekitar 10 hektar yang terdiri dari bangunan kolam
renang, sungai-sungai di bawah bangunan, serta bangunan-bangunan pesanggrahan
yang terletak di atas sungai-sungai buatan. Pernah tidak terawat sehingga
akhirnya rusak berat. Setelah itu kawasan Tamansari diakuisisi oleh para
pemukim sehingga kondisinya cempur aduk dengan pemukiman dan bangunan rusak Saat
ini beberapa bagian sudah direnovasi, namun sebagian besar tetap merana
diantara pemukiman warga.
PANGGUNG KRAPYAK
Panggung
Krapyak Adalah tempat raja Yogyakarta berburu. Terletak di selatan keraton
Yogyakarta. Dibangun oleh Hamengkubuwono I.
ALUN-ALUN
Alun-alun Merupakan
hamparan tanah yang diratakan yang biasanya berbentuk bujur sangkar. Di
tepi-tepinya ditanami pohon beringin dan di dua titik di tengah-tengah juga
ditanami pohon beringin, yang biasanya disebut beringin kurung (karena diberi
pagar keliling). Dua buah pohon beringin di tengah-tengah merupakan pohon yang
diistimewakan. Celah diantara dua pohon beringin tersebut merupakan “pintu” menuju
ke gerbang Keraton. Terdapat dua alun-alun:
1.
Alun-alun
Utara (halaman utara Keraton)
2.
Alun-alun
Selatan (halaman belakang Keraton)
MASJID AGUNG
Masjid Agung Terletak
di sisi barat Alun-alun Utara. Masjid ini merupakan tempat ibadah umat Islam
dan menjadi penanda kota tradisional. Masjid mutlak ada di kota tradisional
Jawa. Masjid ini disebut juga Masjid Gedhe Kauman.
PASAR BERINGHARJO
Marupakan pasar
tradisional yang dibangun pada masa awal untuk melengkapi Keraton. Terletak di
utara keraton, tepatnya di Jalan Malioboro.
KESIMPULAN
Dari paparan
diatas, seperti yang saya sebutkan sebelumnya bahwa sejarah kota Yogyakarta ini
terfokus pada transformasi sosial ekonomi dan perubahan ekologis. Hal ini dapat
terlihat adanya perubahan tempat atau lokasi yang ada di kota Yogyakarta.
Misalnya Keraton yang berubah menjadi tempat pemukiman dan juga sebagai tempat
wisata atau penelitian sejarah. Tamansari yang dulunya sebagai tempat
peristirahatan Raja kini menjadi pemukiman penduduk. Plengkung yang fungsinya
sebagai benteng Keraton kini menjadi sebuah Gapura dan bahkan ada yang hilang
karena rusak tidak terawat.